Kamis, 17 Desember 2009

Tradisi yang Memberatkan


Tradisi mendoakan (tahlilan) atas orang yang telah meninggal pada hari pertama sampai tujuh hari berikutnya, dan hari ke- 40, ke- 100, setahun (atau haul atau bahasa Banyumasan, mendak) pertama, setahun kedua, dan terakhir mendoakan pada hari ke- 1000 kematiannya, bukan monopoli tradisi Jawa. Di Balikpapan, tepatnya di Kampung Telogorejo, Balikpapan Selatan, juga ada tradisi serupa. Dan malam ini baru saja usai tetangga mengadakan acara doa bersama untuk mengenang anggota keluarga yang telah meninggal tepat setahun yang lalu. Doa ini dihadiri hampir 50 orang dari kerabat dan tetangga sekitar, termasuk saya.
Lafal-lafal yang selalu dibaca saat tahlilan ini adalah surat Yasin, Surat Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, penggalan surat Al Baqarah di awal dan di akhir surat, Shalawat, lafal Tahlil dan terakhir doa.
Yang menjadi persoalan tidak terletak pada bacaannya, melainkan di akhir acaranya, yaitu jamuan makan oleh tuan rumah (orang yang sedang berduka) dan pemberian oleh-oleh kepada para sukarelawan pembaca doa.
Sudah menjadi kebiasaan di Balikpapan (mungkin tidak berbeda di daerah lain), tiap malam setelah tahlilan tuan rumah menyajikan jamuan makan (terkadang kue saja) selama tujuh hari berturut-turut. Khusus malam ke tiga dan ke tujuh, disamping diberi jamuan makan, para undangan juga diberi oleh-oleh berupa nasi kotak (berkat). Setelah malam ke tujuh tidak ada lagi ritual tahlilan sampai malam ke-40. Nah, biasanya pada tahlilan di hari ke-40, pihak tuan rumah yang mampu, selain menyajikan jamuan yang spesial dan memberi berkat, juga memberi kenang-kenangan kepada para undangan (bisa berupa kain sarung, sajadah, atau lainnya). Di Jawa, khususnya di Banyumas, untuk acara jamuan di hari ke-40 meninggalnya seseorang biasanya memotong Kambing.
Ada semacam kontradiksi di tradisi ini. Pihak yang sedang berduka, oleh karena tradisi yang sudah berurat berakar, harus mengadakan acara tahlilan dengan biaya yang tidak sedikit. Idealnya, pihak yang berduka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memberi jamuan makan dan oleh-oleh (sedang sedih malah harus keluar uang). Memang ada bantuan (uang dan beras) dari masyarakat sekitar, tapi sering tidak memadai untuk membiayai jamuan makan tujuh malam berturut-turut ditambah acara untuk hari ke-40 dan seterusnya. Bagaimana bila keluarga yang sedang berduka tersebut tidak mampu secara ekonomi? Merepotkan bukan? Jadi serba salah. Mau mengadakan tahlilan tapi tidak mampu, dan bila tidak mengadakan tahlilan, apa kata tetangga?
Kemudian yang jadi pertanyaan, dari mana (dalil) asal tradisi ini? bisakah dihilangkan kebiasaan ini di masyarakat?
Di masyarakat kita, yang masih menjalankan tradisi ini adalah kaum Nahdliyyin, yang konon sudah dilakukan sejak jaman Wali Songo. Sedangkan Muhammadiyah dari awal berdirinya tidak melakukan tradisi ini.
Dalil yang dipakai sebagai pegangan mereka dalam menjalankan ritual ini adalah:
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178).
Atas jamuan makan sebagaimana di atas, dianjurkan disediakan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari almarhum, sehingga tidak membebani keluarga dekat almarhum.

Karena tradisi ini sudah mendarah daging di masyarakat, menyikapi masalah ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan ke arah yang ideal.

Wallohu a'lam

Tulisan ini telah dipublikasikan di Kompasiana


EmoticonEmoticon