Rabu, 17 Maret 2010

Kenapa Banyak yang Bersimpati pada ‘Para Teroris’?


Ada fenomena menarik saat pemakaman orang yg dituduh sebagai teroris, yaitu hadirnya ratusan bahkan mungkin ribuan pelayat. Kenapa menarik? Karena di satu sisi sebenarnya sikap dan pandangan para teroris sudah ditelanjangi habis-habisan melalui media massa. Bahwa prinsip dan ideologi para teroris tidak benar, dan karena tidak benar maka keyakinan para teroris dinilai telah menyimpang dari norma umum yang ada di masyarakat. Media massa juga tidak henti-hentinya menayangkan penderitaan anggota masyarakat akibat ulah para teroris. Tujuannya agar para teroris dan orang yang sepaham dengannya menaruh iba, kemudian berempati dan pada akhirnya tidak akan mengulangi hal yang sama. Tapi faktanya seperti tidak sesuai yang diharapkan. Banyak elemen masyarakat yang menaruh simpati dan seperti mendukung apa yang telah dilakukan oleh para pelaku teror.

Lihat saja saat pemakaman trio bomber bom Bali I, yaitu Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra, dan terakhir Dul Matin. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang datang dari berbagai tempat untuk melayat almarhum dan mengantarkannya ke liang lahat. Mereka menilai bahwa para bomber bukanlah teroris, melainkan para mujahid (orang yang berjihad). Bahkan pada pemakaman ketiga bomber tersebut dibumbui aroma ‘mistis’, yaitu adanya burung hitam terbang di atas prosesi pemakaman, bau wangi saat pemakaman, wajah almarhum yang tersenyum, darah segar yang terus mengalir, dan munculnya lafadz Allah di langit. Apa yang saya sebutkan tadi dalam Islam dipahami sebagai tanda bahwa orang yang meninggal tersebut adalah syahid. Syahid artinya adalah menyaksikan, menyaksikan bahwa janji Allah SWT benar adanya yaitu pahala surga bagi orang yang meninggal dalam membela agama Allah SWT. Dan penyebutan tanda-tanda syahid dalam pemakaman ketiga bomber oleh para pelayat dan dikutip media mungkin saja bertujuan untuk meyakinkan agar para peziarah dan masyarakat luas makin yakin bahwa apa yang telah ketiga orang itu lakukan adalah jihad yang sebenarnya.


Mereka yang hadir pada saat pemakaman para tersangka teroris umumnya bukan dari warga setempat, melainkan dari beberapa daerah dan hal itu menunjukkan telah terjadi penyebaran akan paham radikal ini, meski secara kuantitatif masih sedikit. Basis massa yang memiliki ideologi dengan para teroris telah menyebar dan mungkin saja hampir merata di tanah air, dari kota besar sampai kota kecil seperti Purwokerto, Purbalingga, dan lain-lain. Biasanya eksistensi mereka ditandai dengan adanya ma’had dan pesantren. Meski tidak semua ma’had atau pesantren memiliki ideologi yang keras. Yang saya lihat, ‘booming’ kemunculan para aktivis jihad ini setelah ada konflik sara di Maluku dan Sulawesi Tengah. Beberapa masjid yang saya pernah shalat di dalamnya (di Balikpapan maupun masjid di kota kecil di Jawa Tengah), ada jamaah yang bercirikan aktivis (berjenggot dan berpakaian ala Afganistan).

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa paham ini dapat tumbuh di tengah masyarakat? Menurut saya semua berawal dari berkah reformasi yang memberi kebebasan berekspresi kepada warga negara. Era pasca-Orba tidak ada lagi sensor ketat dan main ciduk aparat kepada para dai dan oposan, sehingga paham apa saja secara leluasa bisa berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Kita tidak bisa membayangkan di era Orba ada masyarakat yang berani mengadakan tabligh akbar yang menentang pemerintah, penerbitan media yang penuh kritikan dan caci maki, penyebaran paham radikal, dan lalu lintas informasi yang begitu bebas dan deras dari dan keluar Indonesia. Jadi tidak mengherankan bila apapun yang berasal dari luar dengan mudah dapat masuk dan dianut di masyarakat, termasuk paham radikal.

Tapi saya melihat fenomena ini, fenomena dukungan dan simpati pada para terduga teroris, di samping sebagai berkah reformasi juga sebagai bentuk perlawanan. Ya, perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenangan oleh hegemoni negara Barat terhadap negara-negara mayoritas muslim melalui invasi dan penjajahan serta pembiaran (bahkan mendukung) atas Israel yang terang-terangan menghancurkan Palestina. Apa yang telah dilakukan oleh para terduga teroris juga sebagai bentuk perlawanan dan pembalasan terhadap pembantaian saudara-saudara muslim, sehingga tidak mengejutkan bila inspirator dan pemimpin tertinggi gerakan ini, Usamah bin Laden, memfatwakan untuk membunuh warga sipil Barat. Dan fatwa tersebut telah didengar dan ditaati (sami’na waatha’na) oleh ‘sel-selnya’ di berbagai negara. Terbukti dengan aneka pengeboman yang menjadikan warga sipil Barat sebagai sasaran.

Selain itu, fenomena ini merupakan perlawanan terhadap media global yang pemberitaanya sering tidak seimbang, khususnya pemberitaan atas pembunuhan banyak warga muslim di Palestina, Irak, Afghanistan, Yaman, dan lainnya. Juga atas pemberitaan yang cenderung menyudutkan dan mendiskreditkan umat Islam. Jadi dengan ratusan massa menghadiri dan bersimpati pada para teroris yang tewas akan menunjukkan keberadaan kelompok ini.

Salah satu cara untuk menghentian radikalisme ini adalah menghilangkan ketidakadilan perlakuan negara Barat terhadap negara-negara muslim. Tapi sepertinya sulit karena negara Barat memang membutuhkan ‘musuh’ untuk memutar roda bisnis persenjataannya. Bila tidak ada perang, banyak perusahaan senjata yang gulung tikar. Maka, dijadikanlah Islam sebagai musuh Barat dengan melalui berbagai konspirasi yang luar biasa keji, karena komunis (yang pernah menjadi ancaman Barat) telah tumbang. Kini, yang terpenting adalah kaum Muslim jangan lagi gampang diprovokasi dan diadu domba oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.


EmoticonEmoticon