Rabu, 02 Juni 2010

Posisi Dirjen Pajak Dulu dan Kini


Jauh sebelum adanya reformasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kursi DJP 1 adalah incaran seluruh pegawai DJP, khususnya yang sedang menempati posisi eselon II (yang berarti satu langkah lagi untuk bisa menjadi Direktur Jenderal atau Dirjen). Maka tidak heran bila segala cara ditempuh agar dirinya diangkat menjadi Dirjen.
Suatu hal yang pasti, tiap kali Dirjen Pajak berkunjung ke suatu daerah, servis terbaik akan diberikan oleh anak buahnya (eselon II ke bawah), tujuannya tidak lain adalah agar mendapat kompensasi naik jabatan (promosi) atau mutasi di tempat yang 'enak'. Biasanya, jauh-jauh hari begitu ada kabar bahwa Dirjen akan berkunjung, para 'ABS' akan bekerja ekstra keras menyiapkan segala sesuatunya untuk menservis Dirjen, termasuk menyiapkan mobil mewah untuk menjemput, menyiapkan penginapan hotel mewah, dan tak lupa 'upeti' untuk si Big Boss tersebut. Siapa yang menjadi sapi perah demi menyervis pejabat tinggi ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah para wajib pajak. Semua hal ini dipersiapkan dengan gerilya yg dilakukan oleh aparat pajak kepada para wajib pajak. Tidak mungkin juga aparat pajak mau mengeluarkan uang pribadi untuk membuat Big Boss senang. Tidak mungkin juga mengambil uang kantor karena tidak ada anggaran untuk itu.

Kini kondisi itu sudah kebalikannya. Pertama, sekarang posisi Dirjen Pajak adalah bagai kursi panas. Siapapun yang menduduki Dirjen Pajak akan memikul beban begitu besar. Di samping beban penerimaan pajak di APBN yang tiap tahun naik (rata-rata target pajak naik di atas 10%), juga tuntutan masyarakat dan DPR akan transparansi dan akuntabilitas jabatan publik. Sehingga Dirjen Pajak harus siap menghadapi berbagai kritik tajam dari elemen masyarakat, termasuk pers. Kedua, reformasi birokrasi di Departemen Keuangan telah bergulir, tidak terkecuali di DJP. Salah satu bentuk reformasi adalah pemberian perbaikan penghasilan (take home pay) menjadi beberapa kali lipat dari sebelum reformasi. Dan ini membawa konsekuensi atau tuntutan, sesuai kode etik, untuk tidak lagi melakukan KKN dengan wajib pajak. Setiap pegawai dilarang menerima pemberian apapun dari wajib pajak.

Kondisi ini jelas akan membuat pejabat yang satu langkah menjadi Dirjen akan berpikir beberapa kali, mengingat tanggung jawab dan komitmen di atas.
Padahal para mantan Dirjen sebelum Tjiptardjo sangat menikmati jabatannya dengan segala privillege, kemewahan, dan 'setoran' dari sana sini. Tidak heran bila para mantan Dirjen Pajak memiliki kekayaan yang fantastis, yang tidak jelas sumbernya. Bisa disebutkan diantaranya, mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo memiliki kekayaan sejumlah Rp 38,8 milyar (sumber: Suara Pembaruan). Bagi pegawai negeri, harta sebanyak itu dari mana saja? Bila dari penghasilan resmi tidak akan mungkin sanggup mengumpulkan harta sebanyak itu. Tapi, katanya, harta tersebut sebanyak 94% adalah berasal dari hibah orang tua dan saudara. Benar atau tidak pernyataannya, waktu yang akan membuktikannya.

Mantan Dirjen Pajak lainnya yang memiliki harta berlimpah adalah Fuad Bawazier. Tokoh yang satu ini kini senang berkecimpung di politik, meski tidak laku karena sering asbun dan ironisnya sering ikut-ikutan 'merecoki' kebijakan pemerintah melalui ucapannya.
Fuad Bawazir memiliki harta sebanyak Rp 40 milyar, yang katanya juga dari hibah (sumber: Suara Pembaruan). Luar biasa! Hanya orang bodoh yang akan percaya dengan pernyataan ini.


EmoticonEmoticon