Sabtu, 17 Juli 2010

Mengkritisi Kebijakan Pengenaan PPh Pasal 22 atas Penjualan Migas, Pelumas dan Gas

Pengantar

Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 200 juta jiwa merupakan pasar yang potensial bagi aneka produk, tak terkecuali produk BBM, pelumas dan gas. Seiring tingkat perekonomian Indonesia yang terus membaik dengan ditandai pertumbuhan ekonomi yang positif, berimbas pula pada kenaikan kepemilikan jumlah kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. Data tahun 2008 menunjukkan ada sekitar 45 juta kendaraan bermotor di Indonesia (atau hampir 25% dari jumlah penduduk) dengan kurang lebih 11,68 juta kendaraan roda empat, dan sisanya sepeda motor (lebih dari 33 juta). Data statistik tahun 2008 ini juga menyebutkan, sekitar 8,8 juta kendaraan roda empat atau lebih berada di Jawa dan Sumatera (Kompas.com, 6 Agustus 2009).

Jumlah kendaraan yang sangat banyak tersebut juga berpengaruh terhadap konsumsi BBM nasional. Berdasarkan data dari BP Migas, pada tahun 2010 ini jumlah konsumsi premium diperkirakan akan mencapai 23,2 milyar liter! Realisasi konsumsi premium tahun 2009 adalah sebesar 21,2 milyar liter! Sedangkan konsumsi solar diperkirakan akan mencapai 13,1 milyar liter (atau naik 8,22 persen dibanding tahun 2009 yang realisasinya mencapai 12,1 milyar liter! Luar biasa besar.

Potensi konsumsi BBM yang sangat besar ini menarik pihak asing untuk ikut memasarkan produk BBM nya di Indonesia. Sampai saat ini perusahaan asing yang telah ikut meramaikan penjualan BBM di Indonesia adalah Shell (Belanda), Petronas (Malaysia) dan Total (Perancis).

Kembali ke pemakaian BBM, bila data penjualan BBM (premium dan solar) telah diketahui dan harga jual per liter juga diketahui, dalam hal ini harga jual dari Pertamina (informasi dari salah satu SPBU kategori Non Pertamina Way, harga per liter premium dan solar adalah Rp 3.914), maka jumlah PPh Pasal 22 atas penjualan BBM ini juga bisa dihitung. Setidaknya pada tahun 2010, akan ada setoran PPh Pasal 22 sebanyak Rp 426 milyar (tarif PPh Pasal 22 0,3% x Rp 3.914 x 36,3 milyar liter).

Seiring peningkatan jumlah kendaraan, konsumsi minyak pelumas pasti juga mengikuti tren kenaikan kendaraan. Artinya, tidak ada alasan PPh Pasal 22 atas penjualan minyak pelumas stagnan atau bahkan menurun. Begitu pun PPh Pasal 22 atas penjualan gas. Program konversi minyak tanah ke LPG yang telah digulirkan pemerintah sejak era Wapres Jusuf Kalla, telah melipatgandakan penggunaan LPG oleh masyarakat sehingga mestinya meningkat juga PPh Pasal 22 atas penjualan gas oleh produsen atau importir.
Terkait dengan potensi PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas, bagaimana Ditjen Pajak mengaturnya?

Dasar Hukum

Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak menerbitkan beberapa peraturan pelaksanaan yang khusus mengatur tentang pemungutan PPh Pasal 22. Di antara peraturan tersebut yang kini masih berlaku adalah:

- Keputusan Menteri Keuangan:

1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 254/KMK.03/2001, yang telah diubah dengan,
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 392/KMK.03/2001, yang telah diubah dengan,
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 236/KMK.03/2003, yang telah diubah dengan,
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 154/KMK.03/2007, yang telah diubah dengan,
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 08/KMK.03/2008, yang telah diubah dengan,
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 210/KMK.03/2008.

- Keputusan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak:

1. Keputusan Dirjen Pajak Nomor: 417/PJ/2001.
2. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: 22/PJ.43/2001.

Telaah atas Dasar Hukum

Beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari peraturan-peraturan tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Pasal 1 butir 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 154/KMK.03/2007 tidak lagi menyebut kata PERTAMINA sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya, dengan mengubah redaksi menjadi PRODUSEN atau IMPORTIR. Sehingga atas perubahan redaksi ini cakupan pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan migas, pelumas dan gas menjadi lebih luas.

Di Pasal 7 ayat (1) aturan ini menambahkan hal yang sangat penting yang sebelumnya tidak diatur, yaitu :
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 butir 6 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada :
a. penyalur/agen bersifat final
b. selain penyalur/agen bersifat tidak final
Peraturan yang berlaku sebelumnya tidak membedakan apakah pembeli BBM, gas dan pelumas adalah penyalur/agen atau bukan, sehingga semua pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan produk di atas dikenakan secara final.

2. Peraturan Dirjen Pajak (PerDirjen) mengenai pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas, yaitu Keputusan Dirjen Pajak Nomor: 417/PJ/2001 perlu disesuaikan dengan peraturan Menteri Keuangan yang masih berlaku dan juga perlu disesuaikan dengan kondisi ‘bisnis’ terkini. Diantaranya adalah:

- PerDirjen Pajak nomor: 417/PJ/2001 menyebutkan besarnya tarif PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas hanya kepada pembeli dari pihak SPBU saja. Di peraturan tersebut tidak disebutkan tarif PPh Pasal 22 kepada pembeli selain SPBU. Bila ada pembeli non SPBU, misalnya perusahaan industri atau pabrikan, menggunakan tarif PPh Pasal 22 berapa persen? Hal ini sama sekali tidak diatur. Padahal di KMK Nomor: 154/KMK.03/2007 sudah mengisyaratkan pembeli selain SPBU yang dikenakan PPh Pasal 22 Non Final. Tapi, meski tidak diatur, PERTAMINA selaku pemilik monopoli penjualan BBM, pelumas dan gas telah berinisiatif untuk mengenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,3% terhadap pembeli non SPBU. Sehingga penjualan dan distribusi tidak terganggu dengan kurang jelasnya peraturan tersebut.

Tarif yang berlaku adalah sebagai berikut:
SPBU Swastanisasi
-----------------------
Premium 0,3% dari penjualan
Solar 0,3% dari penjualan
Premix/Super TT 0,3% dari penjualan

SPBU Pertamina
----------------------
Premium 0,25% dari penjualan
Solar 0,25% dari penjualan
Premix/Super TT 0,25% dari penjualan
Minyak Tanah 0,3 % dari penjualan
Gas LPG 0,3 % dari penjualan
Pelumas 0,3 % dari penjualan

Khusus untuk penjualan Premium, Solar dan Premix/Super TT, tarif yang berlaku dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan kepemilikan SPBU. Untuk SPBU yang dimiliki pihak swasta atau DODO (Dealer Own Dealer Operate) dikenakan tarif 0.05% lebih tinggi dari SPBU milik Pertamina atau COCO (Company Own Company Operate).

Kini, pembedaaan tarif tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi persaingan usaha penjualan BBM, pelumas dan gas mengingat yang bermain bukan hanya Pertamina tetapi ada beberapa seperti yang telah saya sebutkan di atas. Sehingga apabila tetap dibedakan pengenaan tarifnya tidak mencerminkan prinsip persamaan di depan hukum/peraturan (equality before the law). Meski selisih prosentasenya kecil, bisa saja menjadi masalah bila menyangkut DPP yang jumlahnya besar.

Praktek Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pertamina

Sebagai perusahaan nasional yang memiliki visi menjadikan Pertamina sebagai perusahaan berkelas dunia, pemenuhan kewajiban perpajakan Pertamina seiring sejalan dengan kebijakan pemerintah, khususnya Ditjen Pajak. Tetapi ada sedikit perkecualian dalam pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas.

Sebagaimana disebutkan di atas, tarif PPh Pasal 22 dibedakan menjadi dua, yaitu untuk pembeli SPBU COCO (dikenakan tariff 0,3%) dan pembeli SPBU DODO (dikenakan tariff 0,25%). Dalam prakteknya, direksi Pertamina telah merilis kebijakan memberlakukan tarif flat 0,3% untuk semua customer.

Penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 22 pun dibedakan sesuai dengan jenis customer. Bila customer-nya adalah agen/dealer/penyalur yang merupakan anggota Hiswana Migas, besarnya DPP adalah harga jual ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB KB) sebesar 5%.
Sedangkan bila pembelinya selain anggota Hiswana Migas, maka DPP nya tidak termasuk PPN dan PBB KB.

Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut:

SPBU A, membeli 10.000 liter Premium. Harga per liter Rp 3.914.
Pembayaran pajaknya sebagai berikut:
DPP = 10.000 ltr x Rp 3.914 = Rp 39.140.000
PPN = 10% x Rp 39.140.000 = Rp 3.914.000
PBB KB = 5% x Rp 39.140.000 = Rp 1.957.000
DPP PPh Pasal 22 = Rp 39.140.000 + Rp 3.914.000 + Rp 1.957.000 = Rp 45.011.000
PPh Pasal 22 = Rp 135.033

Bila pembelinya adalah industri atau pabrikan, maka DPP PPh Pasal 22 adalah Rp 39.140.000. Sehingga PPh Pasal 22 = Rp 117.420.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Ketentuan PerDirjen Pajak nomor: 417/PJ/2001 mengenai tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas, hanya mengatur penjualan ke agen/dealer (SPBU). Sedangkan penjualan ke selain agen/dealer tidak diatur (tidak ada tarif PPh Pasal 22 nya). Hal ini kurang sejalan dengan Pasal 1 butir 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 154/KMK.03/2007 yang menyatakan penjualan ke selain agen/penyalur bersifat tidak final.

b. Dalam PerDirjen Pajak nomor: 417/PJ/2001 terdapat pembedaan tarif untuk penjualan premium, solar dan premix/super TT kepada SPBU Pertamina dan Non Pertamina, yaitu 0,3% dan 0,25%. Model pengenaan tarif yang berbeda ini menimbulkan persaingan yang kurang sehat di dunia usaha karena produsen dan distributor BBM bukan hanya Pertamina. Di samping itu, dalam prakteknya Pertamina tidak memanfaatkan fasilitas tarif yang lebih rendah tersebut. Melainkan mengenakan tarif flat 0,3% kepada semua customer-nya.

Semoga Bermanfaat............

Silakan lihat juga postingan mengenai aturan terbaru PPh Pasal 22 yang 'sepertinya' telah mengakomodasi 'kritikan' saya di atas. Lihat
Aturan Baru PPh Pasal 22


Note:

Admin menerima konsultasi masalah perpajakan (pertanyaan mohon disampaikan via Shoutmix di sebelah kanan halaman ini atau via email di wongcikawung@gmail.com, sambil menunggu dibuatnya menu khusus. Tq)

2 comments

Amiable post and this mail helped me alot in my college assignement. Thank you on your information.

Thanks on your respon. Let's discuss about Indonesian Tax.


EmoticonEmoticon