Kamis, 12 Agustus 2010

Mafia Hukum Di Sekitar Kita


Bila kita mendengar kata Mafia selalu identik dengan penjahat yang terorganisir, sadis dan kejam. Di Indonesia, Mafia tidak identik dengan gambaran di atas. Malah sebaliknya, yaitu lembut dan terkesan innocent. Lihat saja para mafia hukum, seperti kata pers, yang terlibat dalam berbagai kasus hukum di Indonesia. Tampang para mafia ini sungguh tidak menunjukkan mereka adalah para penjahat hukum.

Bila ditanyakan ke setiap warga apakah mereka pernah berurusan dengan aparat hukum dan aparat tersebut meminta uang damai atau apakah-paling tidak-mereka pernah mendengar adanya rekayasa kasus oleh aparat hukum? Pasti jawabannya, iya. Karena hampir di tiap institusi hukum di Indonesia pernah melakukannya dan itulah yang dimaksud bahwa mafia hukum ada di sekitar kita.

Contoh sebuah mafia hukum adalah yang kini menjadi perhatian masyarakat yaitu kasus Gayus Halomoan Tambunan (GHT). Seorang pegawai pajak rendahan yang memiliki kekayaan ratusan milyar. Tentu saja harta sebanyak itu diperoleh dengan cara yang ilegal karena GHT bukan anak seorang konglomerat. Harta ilegal Gayus ini akhirnya terendus aparat hukum dan di sisi lain, GHT melalui pengacaranya menginginkan agar (harta) dia 'aman'.

Berbagai rekayasa hukum dilakukan agar GHT terhindar dari sanksi hukum. Pihak yang merekayasa adalah dirinya, pengacara dan aparat hukum itu sendiri (kepolisian, jaksa dan hakim (?)). Kita simak saja pengakuan GHT dan fakta kasusnya di persidangan Komisaris Polisi (Kompol) Arafat Enani dan Sri Sumartini.


Jawa Pos, 4 Agustus 2010:
Gayus mengungkapkan, total dirinya memberikan uang Rp 20 miliar kepada Haposan untuk mengurus perkara dugaan pencucian uang yang menjadikannya sebagai tersangka. Menurut keterangan Haposan, lanjut dia, uang tersebut akan dibagi-bagi, mulai penyidik sampai hakim.

Tempointeraktif, 10 Agustus 2010
AKP Sri Sumartini didakwa telah menerima suap dari Gayus Tambunan sebesar US$ 45.000 saat menjadi anggota tim penyidik Bareskrim dan melalui kuasa hukumnya Sri Sumartini tidak mengajukan eksepsi atau keberatan.

Media Indonesia, 12 Agustus 2010
Gayus Tambunan, tersangka kasus penyuapan, mengaku ada rekayasa pengubahan status adik Alif Kuncoro, Imam Cahyo Maliki. Ia juga menegaskan pemberian Harlev Davidson kepada Kompol Arafat sebagai hadiah karena mengubah status Imam dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Kasus di atas menunjukkan bahwa penegakkan hukum hanya sebuah lips service saja dari para aparat. Faktanya adalah hukum masih menjadi komoditas untuk memperkaya masing-masing pihak yang mestinya bertanggung jawab atas penegakkan hukum. Contoh kasus yang serupa pasti sangat banyak bila mau diselidiki. Sudah bukan rahasia lagi bila seorang pengedar narkoba yang ditangkap polisi adalah makanan empuk bagi mereka. Dengan iming-iming tidak akan dijebloskan penjara atau tidak dituntut di muka hakim atau dituntut dengan tuntutan yang ringan, para tersangka penjahat tersebut pasti bersedia memberi sogokan ke aparat.

Itulah sebagian wajah buram hukum di Indonesia. Lalu solusi apa untuk menghapus lingkaran setan ini? Hanya ada satu jalan, perbaiki penghasilan para penegak hukum! Bila sudah diperbaiki, tegakkan hukum terhadap para penegak hukum itu sendiri bila melakukan pelanggaran.



EmoticonEmoticon