Kamis, 23 September 2010

Peristiwa Seputar Wafatnya Fatimah RA

Satu penggal kisah yang terhimpun dalam buku-buku sejarah, adalah sebuah episode kesedihan nan memilukan. Tampaknya, meskipun Sayyidina 'Ali memutuskan untuk mengurung diri di rumah dan memilih untuk tidak ambil bagian dalam politik kekuasaan, namun rumah tinggalnya dibakar ketika istri tercinta, Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah, sedang berada di dalam. Entah pintu yang dibakar, pukulan keras gagang pedang, dorongan keras atau itu semua yang mematahkan rusuk dan tangan Fatimah dan mengakibatkan luka serius, hingga bayi dalam kandungannya pun keguguran. "Tidak ada seorang pun di rumah itu kecuali Sayyidina Ali, Fatimah, anak-anak mereka (yg masih berusia 4 sampai 8 tahun), Hasan dan Husain."

Tampaknya penyerbuan itu terjadi secara mendadak dan tak terduga, tak seorang pun siap siaga menghadapinya. Putri Rasulullah itu menderita luka serius, hingga akhirnya pingsan. Sementara rumah itu diliputi kepulan asap yang menyisakan trauma mendalam bagi anak-anaknya. Ketika Sayyidina 'Ali merawat istrinya dan anak-anaknya yang hampir mati lemas, dia disergap dan diseret keluar dari rumahnya. Bahkan setelah peristiwa ini, warisan Fatimah dari ayahnya, Rasulullah Saw, pun ikut disita.

Sekujur tubuh Fatimah terluka parah, mentalnya terguncang. Hal ini menyebabkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Setelah beberapa hari kemudian Fatimah wafat pada tanggal 14 Jumadil Awal 11 H. Fatimah dimakamkan pada malam harinya. Hanya keluarga Bani Hasyim, dan para sahabat pilihan saja, seperti Salman, Abu Dzarr, Ammar bin Yasir dan Miqdal al-Aswad yang diperkenankan menyertai pemakamannya.

Sebelum menemui ajalnya, Fatimah mengungkapkan penderitaanya dalam sebait syair. Sebaris sajak yang menjadi peribahasa dalam khazanah sastra Arab. Fatimah berucap,

"Begitu banyak penderitaan yang menimpaku, jika semua itu ditimpakan pada siang hari, niscaya siang itu akan berubah menjadi malam gulita."

Riwayat tentang hari-hari terakhir Fatimah jelas menunjukkan betapa santun sosok putri tercinta Rasulullah Saw ini. Fatimah berkata kepada sesisi rumah bahwa ia sudah merasa lebih baik, rasa nyeri di rusuk dan tangannya tak lagi dirasakannya dan demamnya mulai turun. Kemudian, Fatimah memandikan anak-anaknya, dibantu Sayyidina 'Ali dan Fizzah (pelayan Fatimah). Dengan telaten dia memandikan, menggantikan pakaian dan mengantarkan mereka ke rumah sepupunya.

Lalu ia memanggil suami tercinta, Sayyidina 'Ali ke sisinya seraya berkata lirih,
"Wahai 'Ali, suamiku tercinta, engkau tahu mengapa kulakukan semua ini. Mohon engkau maafkan kesalahanku. Mereka, anak-anak kita, sudah sedemikian menderita bersamaku selama aku sakit, sehingga aku ingin hari ini mereka berbahagia di hari terakhirku. Aku gembira sekaligus sedih. Aku gembira karena penderitaanku akan segera berakhir, dan aku akan segera bertemu dengan ayah tercinta, namun aku sedih, karena harus berpisah denganmu, dan anak-anakku. Kumohon 'Ali, ingat apa-apa yang kuucapkan kepadamu dan kuharap engkau sudi melakukannya.

Sepeninggalku nanti, engkau boleh menikahi siapa saja yang engkau sukai, tetapi alangkah baiknya jika engkau menikahi sepupuku, Yamamah. Ia mencintai anak-anakku dan Husein sangat lengket dengannya. Biarlah Fizzah tinggal bersama kalian, sekalipun sudah nikah, jika ia mau. Ia lebih dari sekedar pelayan bagiku. Aku mengasihinya dan menganggapnya seperti anakku sendiri. Wahai 'Ali, kebumikan jenazahku pada malam hari dan jangan biarkan orang-orang yang telah berbuat sangat kejam kepadaku turut menyertai penguburanku. Janganlah kamu berkecil kati karena kepergianku. Engkau harus berkhidmat pada Islam dan kebenaran dalam waktu yang lama. Janganlah penderitaanku membuat hidupmu terasa pahit. Berjanjilah padaku, 'Ali..."

"Ya..Fatimah, aku berjanji..." jawab Sayyidina 'Ali.
"Wahai 'Ali..." Fatimah melanjutkan. "Aku tahu betapa engkau mencintai anak-anakku. Khusus Husain, hati-hatilah kepadanya. Ia sangat mencintaiku dan ia akan sangat kehilanganku. Jadilah ibu baginya. Hingga ketika aku terbaring sakit, ia biasa terlelap tidur di atas dadaku. Sebentar lagi ia akan kehilangan semua ini."

Sayyidina 'Ali yang sedang mengelus-elus tangan Fatimah yang patah itu, tanpa disadarinya meneteskan airmata di atas tangan Fatimah. Fatimah menatap wajah suami tercinta seraya berujar lembut,

"Jangan menangis, suamiku. Aku tahu, betapa hatimu sungguh lembut... Engkau sudah terlalu banyak menderita dan semakin banyak lagi derita yang akan kau alami. Selamat tinggal pangeranku, selamat tinggal suamiku tercinta. Selamat tinggal 'Ali...Ucapkan selamat jalan untukku..."

Perasaan duka membuat Sayyidina 'Ali begitu terpukul. Dengan berlinang air mata ia berkata,

"Selamat jalan Fatimah... "

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Fatimah sempat berucap,

"Semoga Allah Yang Maha Pengasih mencurahkan kesabaran bagimu. Semoga engkau kuat menanggung semua beban derita ini. Sekarang biarkanlah aku sendiri menghadap Tuhanku."

Sesaat setelah Fatimah mengucapkan kata-kata itu, ia bersujud di atas sajadah. Beberapa saat kemudian Sayyidina 'Ali memasuki ruangan. Ia mendapatkan Fatimah masih dalam keadaaan bersujud tetapi jiwanya pergi menyusul Ayahanda tercinta menuju ampunan dan rahmat Allah. Fatimah syahid dalam usia masih sangat muda, seperti ucapan Sayyidina 'Ali mengaguminya :

"Sekuntum bunga yang dicabut ketika sedang merekah,
dari Surga akan kembali ke Surga,
semerbak harumnya telah membekas dalam jiwaku."

Kisah tersebut diambil dari buku Gold Profile of 'Ali -Menyaksikan Hari-Hari Sang Kinasih Nabi, karya Syed M. Askari Jafari.


EmoticonEmoticon