Jumat, 22 Oktober 2010

Aturan Baru Pajak Penghasilan Pasal 22

Sebenarnya sudah lama ingin menulis mengenai peraturan yang akhir Agustus 2010 lalu dirilis oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan, yaitu mengenai Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Tapi karena sibuk ini itu, maka baru sekarang saya bisa menyempatkan untuk 'ngomongin' aturan tersebut. Di peraturan yang baru tersebut diantaranya mengatur tentang pengenaan PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas.

Salah satu dorongan saya untuk 'ngomongin' peraturan ini tidak lain adalah karena sebelumnya saya telah menulis atau mengkritik (kalau boleh dibilang begitu) atas pengenaan PPh Pasal 22 penjualan BBM, pelumas dan gas. Dan tulisan/kritikan tersebut, berdasarkan data statistik blog, banyak dibaca oleh netter (bila belum membaca, silakan klik di sini). Sehingga melalui tulisan ini akan saya sesuaikan isi tulisan dimaksud dengan aturan terbaru. Di samping juga akan memaparkan hal yang baru yang tidak diatur di peraturan sebelumnya.

Akhir Agustus lalu telah terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor: 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Saya tidak tahu apakah PMK tersebut terbit setelah saya mengekspos 'kritik' atas tidak adanya tarif pengenaan PPh Pasal 22 kepada konsumen non-SPBU atau sebab lain. Yang pasti ada tenggang waktu antara terbitnya tulisan saya (pada pertengahan Juli) dan terbitnya PMK tersebut (terbit akhir Agustus).

Beberapa hal yang saya singgung mengenai PPh Pasal 22 atas penjualan BBM pada tulisan saya sebelumnya adalah tidak adanya tarif PPh Pasal 22 terhadap konsumen selain agen/SPBU. Padahal konsumen BBM, pelumas dan gas bukan hanya SPBU, melainkan industri/pabrikan seperti industri pertambangan, otomotif, elektronik, jasa pengangkutan/pelayaran, dan lainnya (konsumen perorangan tidak disinggung karena tidak dipungut pajak). Selama ini tarif yang diberlakukan, yaitu 0,3% untuk konsumen SPBU Non Pertamina dan 0,25% untuk SPBU milik Pertamina. Tarif untuk konsumen industri tidak ada. Meski tidak ada tarif untuk industri, untungnya Pertamina selaku penjual BBM berinisiatif mengenakan tarif 0,3%. Sehingga tidak ada kebingungan di kalangan konsumen non SPBU, mau menggunakan tarif yang mana?

Nah, di PMK yang baru, yaitu di Pasal 2 ayat (1) huruf c, besaran tarif PPh Pasal 22 atas penjualan BBM, pelumas dan gas untuk konsumen industri (non SPBU) sudah ditetapkan, sebesar 0,3% (dari harga penjualan, tidak termasuk PPN). Artinya, pemerintah mendengar, membaca dan menindaklanjuti apa yang disuarakan oleh rakyat. :)

Sebenarnya masih ada satu lagi yang perlu direvisi (sudah saya sampaikan di sini), yaitu pembedaan tarif untuk SPBU swasta dan SPBU milik Pertamina. Seperti diketahui, bila SPBU swasta membeli premium, solar dan premix/super TT ke Pertamina, maka diharuskan membayar PPh Pasal 22 sebesar 0,3%. Tetapi bila yang membeli adalah SPBU milik Pertamina, maka cukup membayar PPh Pasal 22 sebesar 0,25%. Dari sini terlihat ada ketidakadilan karena pembedaan tarif berdasarkan kepemilikan SPBU. Karena itu, demi menjalankan prinsip persamaan di depan hukum, pembedaan tarif itu perlu direvisi (di PMK terbaru pembedaan tarif masih diberlakukan).

Hal Baru di PMK-154/PMK.03/2010

Salah satu perubahan yang sangat berani di PMK- 154/PMK.03/2010 adalah menghilangkan Pasal 1 angka 3 dan 4 dari peraturan sebelumnya (PMK- 210/PMK.03/2008), yaitu kewajiban untuk memungut PPh Pasal 22 atas pembelian/belanja barang yang dilakukan oleh:

- Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD) (Pasal 1 angka 3 PMK- 210/PMK.03/2008),

- Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN (Pasal 1 angka 4 PMK- 210/PMK.03/2008).

Artinya, pemungutan PPh Pasal 22 (sebesar 1,5% dari nilai pembelian) yang selama ini dilakuan oleh badan-badan tersebut di atas, mulai masa pajak September tidak lagi dilakukan, seiring berlakunya PMK- 154/PK.03/2010. Kabar gembira bagi para supplier!

Kenapa saya katakan berani? Karena di tengah gencar-gencarnya Direktorat Jenderal Pajak menggali potensi pajak, pajak yang sudah di depan mata dilepas begitu saja. Padahal, nilai potensi dari pemungutan pajak ini cukup besar (berdasarkan perkiraan capital expenditure BUMN tahun 2010 yang mencapai Rp 167 triliun, maka potensi PPh Pasal 22 yang dipungut oleh para BUMN sebesar Rp 2,5 triliun). Jadi, perkiraan potential loss dapat dihitung. Terkait kemungkinan potential loss PPh Pasal 22 ini telah saya hitung secara kasar di sini.

Semoga bermanfaat.





3 comments

bagaimana aspek perpajakan untuk impor alat kesehatan oleh RS?apakah ada special rule untuk meminimalkan pembayaran pajak?

Dalam hal impor tidak ada aturan khusus untuk rumah sakit. Yang ada adalah PPN atau PPh atas impor dibebaskan (berlaku untuk barang2 tertentu). Ketentuan PPN atas impor dibebaskan,silakan liat Peraturan Pemerintah RI no. 31 Tahun 2007.
Sedangkan PPh atas impor yang dibebaskan, silakan liat Peraturan Menteri Keuangan No. 154 Th 2010.

Semoga bermanfaat.

sangat bermanfaat untuk teman-teman pemroses keuangan


EmoticonEmoticon