Selasa, 19 Oktober 2010

Mahasiswa Makasar, Otot Kawat Balung Wesi

Judul di atas saya ambil dari julukan atas tokoh pewayangan yang sangat terkenal, yaitu Gatotkaca. Seorang satria gagah perkasa dan sakti mandraguna sehingga diberi ‘label’ si Otot Kawat Balung Wesi. Ototnya (seolah) dari kawat dan tulangnya (seolah terbuat dari) besi. Kesaktian, baik pada cerita pewayangan atau pada cerita jaman dulu, sangat dibutuhkan. Karena pada masa itu yang berlaku adalah hukum rimba (yang kuat yang menang).

Kini, jaman telah berubah. Kompetisi tidak lagi pada semata-mata fisik, melainkan otak melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Ironinya, yang terjadi di Makasar kemarin dan hari ini, 19 Oktober 2010, para pendemo yang terdiri dari mahasiswa mengedepankan fisik. Mereka melakukan demo menentang kedatangan Presiden Sby ke Makasar dengan cara-cara yang tidak lazim dilakukan oleh mahasiswa, yaitu melakukan pengrusakan dan bentrok dengan polisi. Presiden Sby sendiri melakukan perjalanan dinas ke Makasar dalam rangka membuka rakernas para kepala daerah seluruh Indonesia.
Aksi anarkisme mahasiswa Makassar sebenarnya sudah kondang sampai ujung pelosok Indonesia. Karena bukan sekali ini saja mereka unjuk kekuatan (dalam arti yg sebenarnya) di tengah jalan, melainkan sudah berkali-kali. Beragam komentar dari masyarakat pun bermunculan dalam menilai arogansi mahasiswa Sulsel tersebut. Mulai menyebut mereka sebagai mahasiswa kampungan, dungu, goblok, tak beradab dan lainnya.

Saya menilai wajar masyarakat memberi stigma seperti itu kepada mahasiswa Makasar, bahkan tidak hanya mahasiswa Makasar saja, melainkan semua mahasiswa yang masih mengedepankan otot layak diberi umpatan-umpatan kasar seperti itu.

Bila menyandang sebagai mahasiswa, terbayang oleh orang akan ilmu dan pendidikan yang mereka dapatkan, yaitu (semestinya) berilmu tinggi, berwawasan luas, dan beretika. Bila kenyataan berbanding terbalik dengan hal-hal ideal tersebut, sepertinya sudah tidak layak para pelaku demo anarkis disebut sebagai mahasiswa. Mereka layak disebut sebagai preman jalanan atau preman yang kebetulan punya jaket sebuah perguruan tinggi.

Seandainya para mahasiswa Makasar mau membuka mata dan otaknya untuk melihat dunia di luar sana yang sedang terjadi kompetisi sengit dalam hal keilmuan dan teknologi, mungkin mereka akan berpikir untuk tidak menonjolkan fisik, melainkan otak. Kesadaran akan pentingnya penguasaan iptek (siapa menguasai iptek, dialah pemenangnya) akan berpengaruh pada perilaku siapa saja yang ingin maju.

Tapi entah apa yang ada di pikiran para mahasiswa di Makasar. Apakah main kekerasan sekedar untuk melampiaskan kejenuhan, untuk mencari perhatian (caper), atau memang sudah bawaan. Wallahu’alam..

2 comments

ga semua mahasiswa makassar kya gt bang... banyak juga yg melakukan pendekatan intelektual.. mslh kemajuan teknologi.. Mahasiswa makassar sering menjuarai kejuaraan lomba robot di event nasional.. tp sy pun g menutup mata.. sebagian besar msh "hobi" dgn cr2 anarkis.. yah suatu kritik yg baik untuk para katifis mhswa makassar

@Jay: thanks ya telah mampir....benar kata bang Jay, tidak semua mahasiswa Makasar seperti itu. Hanya karena ulah segelintir mahasiswa yg tawuran, masyarakat jadi memberikan stigma bahwa semua mahasiswa Makasar suka kekerasan.

Thanks


EmoticonEmoticon