Rabu, 08 September 2010

Kol. Pnb. Adji Suradji Melawan Tradisi


Sejak dimuat di Harian Kompas, Senin 6 September 2010, efek tulisan Kol. Pnb Adji Suradji (AS) bagai bola salju. Betapa tidak, beliau adalah seorang anggota TNI aktif berpangkat kolonel tetapi secara terbuka mengkritik Presiden, yang sekaligus adalah Panglima Tertinggi TNI. Maka timbul pertanyaan, kenapa tulisan (tepatnya ide) seperti itu bisa muncul dari seorang anggota TNI?
Bila mau jujur, tidak sedikit anggota lapisan masyarakat (mungkin juga di kalangan TNI lainnya atau Polri –yang memunculkan orang semacam Susno Duadji) memiliki kegundahan sama seperti yang dirasakan Kol. AS. Dan kegundahan seperti itu sudah begitu membuncah di dalam diri yang bersangkutan. Sehingga tradisi yang puluhan tahun dipegang teguh TNI untuk tidak 'melawan' atasan, pun dilanggar.

Bagi sebagian orang, banyak kendala untuk mengungkapkan kegundahan tersebut. Pertama, tidak ada keberanian. Kedua, tidak ada sarana serta tidak memiliki kemampuan mengungkapkan dengan baik. Tetapi bila ada sedikit saja celah untuk mengungkapkan kegundahan itu, hal ini akan sangat berbahaya karena bisa seperti air bah yang menabrak siapapun yang menghalanginya. Ingat saat air bah reformasi tumpah di Jakarta dan daerah lain di Indonesia pada tahun 1998? Tidak ada siapapun yang bisa membendung buncahan kegundahan rakyat Indonesia (yang sudah bertahun-tahun terbendung)!

Siapapun orang yang memiliki jiwa yang besar, akan menerima setiap kritik yang dialamatkan kepadanya. Dengan kritik tersebut justru akan mengetahui kekurangan diri. Bukan malah menghukum si pengkritik.

Menurut saya, apa yang ditulis oleh Kol. AS adalah ungkapan sejujurnya terhadap kondisi yang ada di sekitarnya. Dari apa yang ditulis menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang cerdas dan mungkin bersih. Tetapi, dalam surat tanggapan yang dikirim ke harian Kompas, Selasa, 7 September 2010, Kepala Dinas Penerangan AU malah mengungkapkan bahwa Kol AS sedang terbelit kasus korupsi. Entah apa yang sebenarnya terjadi di tempat kerja Kol AS. Saya kuatir orang yang konsisten untuk tidak KKN (tidak mau me-mark up proyek atau semacamnya) akan dianggap melawan atasan dan kemudian disingkirkan dengan cara yang tidak terpuji.

Berikut ini adalah tulisan Kolonel Penerbang Adji Suradjie yang membuat gusar para petinggi di TNI AU :

Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.

Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?

Keberanian

Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?

Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji, Anggota TNI AU
Kompas.com

2 comments

Andai sby meniru iran, ga bakalan mikir beli pesawat kepresidenan misalnya..

Terima kasih atas kunjungan Anda ke blog saya


EmoticonEmoticon