Rabu, 18 November 2009

Sekedar Percaya, Cukupkah?


Sudah lama beberapa tulisan di Kompasiana yang masuk ke kolom filsafat, mengingatkan saya akan sebuah buku. Sebuah buku, saya lupa judulnya, yang pernah saya baca belasan tahun silam saat masih di sekolah menengah. Penulis buku tersebut dalam kata pengantarnya mengajukan tiga pertanyaan (ada di akhir tulisan ini).
Jujur saya tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang filsafat. Tulisan ini sekedar media untuk menuangkan kembali tiga pertanyaan yang mungkin masih relevan diajukan kepada umat beragama.
Diantara tulisan yang memotivasi saya untuk membuat corat coret ini adalah tulisan pak Madeteling, agama-pasti-akan-lenyap, tulisan pak Petrus Rampisela, agama-juga-bisa-mati, tulisan pak Rinaldi, heboh-makam-yesus-dan-perubahan-paradigma-beragama, tulisan pak Edi Santana Sembiring, tuhan-telah-mati-ttm-bagian1, tuhan-telah-mati-ttm-bagian2, dan tulisan-tulisan lainnya yang bertema senada.
Saya melihat ada kegelisahan spiritual pada tulisan mereka. Ada semacam gugatan terhadap kebenaran keyakinan mereka bahkan mungkin gugatan terhadap eksistensi Tuhan. Mohon maaf bila saya salah menarik kesimpulan.
Saya berpendapat adanya anugerah akal, sangat wajar manusia melakukan pemikiran-pemikiran dan kajian untuk mencari dan membuktikan kebenaran yang hakiki. Dalam pandangan agama saya, Tuhan akan memberi pahala dua poin bila hasil pemikiran (ijtihad) kita benar dan akan diberi satu poin bila ijtihad salah. Tuhan memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi akal untuk berpikir dan mencari kebenaran.
Tapi terkadang manusia terperangkap pada kemampuan akal yang luar biasa sehingga terpelanting dan menganggap akalnya sebagai tuhan. Tuhan yang sebenarnya menjadi terpinggirkan. Dan ini yang meracuni pikiran kaum (yang disebut) atheis. Kaum atheis percaya pada tuhan akal tapi tidak percaya Tuhan yang telah menciptakan akal. Jadi sebenarnya mereka tidak 100 persen tidak percaya. Konon Ny Raisa Maksimovna Gorbachev pun spontan menyebut tuhan saat sebuah pesawat yang sedang akrobat di sebuah pameran kedirgantaraan melintas di atas podium kehormatan. Dan karena kaum atheis mengedepankan logika, obyek yang dipercaya hanya yang berwujud. Tuhan terreduksi menjadi benda/materi.
Temuan ilmiah terkini juga membuktikan bahwa tidak ada orang yang benar-benar tidak percaya Tuhan, diantaranya temuan Dr. Justin Barrett, peneliti ahli di Centre for Anthropology and Mind, University of Oxford, Inggris. Hasil penelitian ilmiahnya bertahun-tahun menunjukkan bahwa mengimani Tuhan merupakan tabiat bawaan anak sejak lahir. Temuan ini sekaligus membantah pandangan kaum Ateis (Sumber). Kedua, Vilyanur Ramachandran (2002), ahli otak yang menyebut adanya God Spot dalam otak manusia ketika melaporkan kasus 'melihat' Tuhan yang dialami oleh Dr Michael Persinger, neoro-psikolog dari Kanada, ketika otaknya dipasangi kabel-kabel magnetik perekam aktivitas bagian-bagian otak. Persinger, meski sekular seratus persen, tapi dengan perangsangan magnetik pada lobus temporal-nya, ia dapat 'melihat' Tuhan. Melihat-Nya bukan secara objektif dengan indra manusia, tapi adanya perasaan mistis yang dialaminya (Sumber). Bila sudah terbukti secara ilmiah, logika apa lagi yang bisa menegasikan keberadaan Tuhan? Berlindung di balik topeng kemunafikan macam apa lagi para atheis ini?
Sekedar percaya, cukupkah?
Sebagai orang yang beragama, tidaklah cukup kita sekedar percaya adanya Tuhan. Tuhan pasti tidak akan membiarkan manusia terombang ambing dalam pencarian jalan menuju kepada-Nya. Karena itulah diutus seorang nabi (pembawa kabar). Dalam sejarah agama, ada ribuan orang yang mengaku sebagai nabi utusan Tuhan dengan membawa kabar sesuai petunjuk yang diterima masing-masing. Akibatnya banyak macam jalan (agama) yang menuju kepada-Nya. Lalu, yang menjadi pertanyaan, jalan mana yang benar?
Lebih lima belas tahun silam saya membaca sebuah buku, lupa judulnya. Ada tiga pertanyaan yang ditulis oleh penulis buku tersebut di kata sambutannya. Tiga pertanyaan ini, bagi saya cukup menggelitik di tengah puluhan agama yang mana harus kita anut. Dan tidak sedikit manusia yang bingung dihadapkan pada pilihan ini.
Tiga pertanyaan tersebut adalah :
Bila anda telah memilih agama,
- apakah konsep ketuhanannya sederhana dan mudah dipahami?
- apakah otentisitas kitab sucinya bisa ditelusuri dan dibuktikan sampai ke pembawa kabar?
- apakah sang pembawa kabar bisa dipercaya (bukan seorang pendusta)?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu pemahaman mendalam yang tidak cukup satu dua hari. Tidak sedikit orang yang merasa paham agamanya, padahal baru permukaan yang diketahuinya. Diperlukan obyektifitas, kejujuran dan tanpa prasangka untuk memperoleh kebenaran akan suatu agama. Karena arus informasi yang begitu deras sekarang ini yang belum tentu benar, telah mendistorsi banyak aspek dari agama, agama apapun itu. Sehingga pikiran yang bebas/independen dibutuhkan dalam setiap pencarian kebenaran.
Atas pertanyaan di atas, bila jawaban suatu agama positif, maka ambilah agama tersebut sebagai jalan menuju Tuhan. Bila jawaban positif itu ada pada semua agama, pilihlah sesuai hati nurani. Atau bila semuanya negatif, ‘selanjutnya terserah anda’ (ingat iklan: mode on).

=====Mohon maaf telah mengambil waktu anda untuk membaca tulisan yang tidak bermakna ini=====


Tulisan ini telah dipublikasikan di Kompasiana

1 comments so far

AGAMA YANG MENGAJARKAN SELAMAT DUNIA AKHIRAT TENTUNYA....TAPI BUKAN AGAMA YANG MENYELAMATKAN....SALAM


EmoticonEmoticon