Kamis, 14 Januari 2010

Buku Putih Depkeu Menjawab Semua Tuduhan

Strategi yang digunakan ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI) tepat. Kemarin ibu SMI diundang Pansus DPR sebagai saksi kasus bailout BC. Bersamaan dengan itu, Depkeu meluncurkan buku putih yang berisi penjelasan penanganan Bank Century.

Buku tersebut disusun oleh Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Di kalangan internal Depkeu, buku putih ini telah disebarkan sejak beberapa hari yg lalu. Buku setebal 74 halaman ini diharapkan mampu menjadi penyeimbang atas opini yang beredar di masyarakat yang tidak sedikit telah terbawa arus informasi dari media massa.

Buku putih ini menjelaskan dengan sangat gamblang semua sangkaan, tuduhan, bahkan mungkin fitnah dari para politkus, sebagian masyarakat dan mungkin juga pers terhadap institusi KSSK, khususnya ketua dan anggotanya.

Bagi yang belum membaca isi Buku Putih, selengkapnya di bawah ini:




JUDUL BUKU : PENJELASAN MENGENAI PENANGANAN BANK CENTURY

Krisis Ekonomi Global

Berawal dari permasalahan kegagalan pembayaran kredit perumahan (subprime mortgage default) di Amerika Serikat (AS), krisis kemudian menggelembung merusak sistem perbankan bukan hanya di AS namun meluas hingga ke Eropa lalu ke Asia. Secara beruntun menyebabkan effect domino terhadap solvabilitas dan likuiditas lembaga-lembaga keuangan di negara negara tersebut, yang antara lain menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia yang kebetulan sudah lama memiliki surat-surat beharga perusahaan-perusahaan tersebut.

Dari berbagai kritik para ahli, bahwa problem tersebut dipicu maraknya penggelembungan harga perumahan di AS yang didorong kebijakan-kebijakan Bank Sentral Amerika (the Fed) yang kurang pruden untuk menstabilkan sistem keuangan sejak bertahun-tahun. Kondisi ini didorong oleh keinginan untuk memelihara permintaan properti perumahan agar tetap tinggi, maka bank-bank di Amerika Serikat banyak mengucurkan kredit perumahan terutama bagi kalangan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki kapasitas keuangan yang memadai (ninja loan yaitu pinjaman terhadap nasabah yang no income, no job, & no asset). Kredit perumahan ini kemudian disekuritisasi secara hibrid agar lebih menarik bagi investor yang terdiri dari bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Celakanya, banyak kredit tak terbayar dalam jumlah besar dan merata. Akibatnya, bank-bank kesulitan untuk membayar dan investor dengan cepat menarik dananya dari produk-produk perbankan disaat harga masih tinggi sehingga hal ini memacetkan perputaran uang di pasar hipotik. Hal ini menyebabkan pula struktur pasar uang yang produknya saling terkait satu sama lain menjadi terganggu. Termasuk juga jaminan obligasi utang (collaterlaised debt obligation/CDO) sebagai bentuk investasi kolektif dari sub-prime mortgage.

Lehman Brothers mengumumkan kerugian bertahap sebelum akhirnya bangkrut. Pada 16 Juni 2008, perusahan itu mengumumkan kerugian senilai 2,8 miliar dolar AS untuk paruh ke-dua 2008. Dilanjutkan dengan kerugian sebesar 3,9 miliar dolar AS pada paruh ke-tiga 2008 (10 September) dan berujung pada pengumuman kepailitannya pada 15 September 2008. Keguncangan serupa juga dialami secara hampir bersamaan oleh Merryl Linch, Citigroup, AIG dan berbagai lembaga keuangan besar lain.

Ini berimbas ke pelemahan sektor riil dengan kebangkrutan berbagai perusahan besar di AS seperti General Motors, Ford, dan Chrysler sehingga mengancam kelangsungan kerja ribuan karyawannya. Benar saja, tingkat pengangguran di AS meningkat mencapai 6,7% seiring dengan peningkatan pesimisme di kalangan konsumen dan investor sepanjang kurun September – November 2008. Itu merupakan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) terbesar dalam 34 tahun terakhir. Tercatat 533.000 karyawan di-PHK dan mencapai total 1,91 juta orang pada tahun 2008. (sumber: departemen tenaga kerja AS). Seiring dengan itu, pada 30 November 2008, pemerintah AS juga mengumumkan penurunan nilai real PDB untuk paruh III 2008 sebesar 0,3%.

Demikian halnya juga di Eropa, krisis perbankan di Eropa ditandai dengan permasalahan di sebuah bank kecil di Inggris, yaitu Bank Northen Rock, pada pertengahan 2007 lalu. Northern Rock sejatinya adalah sebuah bank swasta berskala kecil di Inggris. Namun, ketika terjadi gonjang-ganjing krisis pada Agustus 2007 lalu bank ini jadi sorotan publik. Penarikan dana besar-besaran yang dilakukan oleh para nasabah memicu sentimen negatif pasar. Antrian panjang nasabah yang ingin menarik dananya dari bank ini disiarkan oleh berbagai stasiun TV di dunia. Untuk pertama kalinya dalam 140 tahun terakhir, Inggris mengalami kekacauan perbankan. Meskipun sudah diberi pinjaman darurat pada 13 September 2007 oleh Bank Sentral Inggris (Bank of England), Northern Rock akhirnya di-nasionalisasi pada 17 Februari 2008 untuk mencegah dampak sistemik perekonmian di Inggris. Sejak kejadian itu, beberapa bank di Inggris juga di-nasionalisasi. Pemerintah mengambil sebagian porsi saham di bank-bank swasta tersebut sebagai bagian dari program rekapitalisasi. Kasus Bank Northern Rock ini menjadi satu kasus pelajaran penting bahwa bank berskala kecil pun dapat menimbulkan dampak psikologis negatif di masyarakat.

Kondisi buruknya perekonomian dunia diperjelas dengan rilis dari Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada 6 November 2008 yang memprediksi pertumbuhan ekonomi negatif untuk Amerika Serikat (-0,7), empat negara di Eropa (-0,5) dan Inggris (-1,3) untuk tahun 2009. Tampak pula tren penurunan pertumbuhan negara-negara tersebut sejak 2007 hingga 2009.

Untuk negara Asia seperti China, Jepang, dan India sebagai ikon pertumbuhan ekonomi di Asia juga tak luput dari hantaman krisis. Berdasarkan prediksi IMF pada 6 November 2008, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif (-0,2) pada 2009. Sementara China mengalami penurunan dari 11,9% pada 2007 menjadi 9,7% pada 2008 dan diprediksi terus turun menjadi 8,5% pada 2009. Demikian juga dengan India yang berturut-turut mengalami tren penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu 9,3% pada 2007 menjadi 7,8% pada 2008 dan dipredikisi terus turun menjadi 6,3% pada 2009.

Kondisi Perekonomian Domestik

Sebagai salah satu pelaku pasar dunia, Indonesia tentu juga tak luput dari hantaman krisis. Indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator yaitu:

1. Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008; (catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN sebesar Rp1,4 Triliun di APBN).

2. Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi diatas 980 bps pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat itu.

3. Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital flight;

4. Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari USD 59.45 milyar per Juni 2008 menjadi 51.64 milyar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.

5. Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.840 per Jan 2008 menjadi Rp 12.100 per Nopember 2008 dengan volatilitas yang tinggi.

6. Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) yang sudah memasuki dalam ambang batas kritis. Banking Pressure Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal 0,5. Sementara itu, Financial Stability Index per November 2008 sebesar 2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Ini menunjukkan bahwa sistem perbankan dan sistem keuangan domestik dalam keadaan genting. Semakin tinggi nilai BPI (positif), semakin vulnerable sistem perbankan negara yang bersangkutan.

7. Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping Uni Eropa.

Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008, ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa. Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dasyat lagi, pinjaman antar Bank telah berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan tidak ada sama sekali. Keadaan ini mendorong Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan perubahan-perubahan penilaian aktiva. Masih dalam ingatan kita semua bahwa hampir semua industri dan para pengamat termasuk perseorangan baik dalam negri maupun luar negeri menyambut respon Pemerintah tersebut.

Melihat perkembangan kondisi makro ekonomi pada saat itu, satu bulan sebelum Bank Cetury masuk ke KSSK, Drajad Wibowo sempat menanggapi ancaman krisis global. “Pemerintah harus menentukan manuver-manuver politiknya dan segera melakukan tindakan untuk meredam krisis yang sedang melanda Indonesia. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah nyata selagi Indonesia belum merasakan benar jalaran badai krisis AS. Kita bisa ambil contoh bagaimana negara bagian Florida bergerak cepat mengungsikan warganya ketika badai Katarina menerjang daerah tersebut.”

Respon Global & Respon Pemerintah Indonesia

Saat terjadinya kejatuhan ekonomi di pertengahan 2008, semua pemerintahan dan bank sentral di Amerika, Eropa maupun Asia melakukan berbagai upaya penyelamatan perekonomian negara mereka. Upaya itu bertumpu pada empat tindakan utama yaitu pemberian likuiditas, tindakan bail-out (penyelamatan) berbagai lembaga keuangan, menurunkan tingkat suku bunga dan memberi stimulus fiskal.

Bank sentral di Eropa melakukan pemangkasan suku bunga mengikuti langkah Bank Sentral AS. Sebelumnya, Bank of Australia, Sveriges Riksbank, Denmarks National Bank dan Norges Bank sudah membuka . Pemerintah Irlandia juga melakukan penjaminan terhadap deposito di enam bank besar di Irlandia.

Kebijakan nyata terkait dengan krisis perbankan di Eropa juga ditunjukkan dengan nasionalisasi bank Northen Rock dan beberapa bank di Inggris. Upaya penyelamatan juga dilakukan oleh negara-negara di Asia. Bank Sentral China contohnya, pada 8 Oktober 2008, mengikuti langkah Bank Sentral AS, memangkas tingkat suku bunga. Pemerintah China juga meluncurkan paket stimulus ekonomi senilai 4 triliun yuan (586 miliar dolar AS) pada 10 November 2008.

Kesadaran atas gentingnya kondisi perekonomian dunia pada saat itu mendorong para pemimpin dunia mengadakan pertemuan G-20 pada tanggal 13-15 November 2008 (yang juga dihadiri Presiden dan Menkeu RI) untuk membahas langkah-langkah penanganan krisis global. Menteri Keuangan diundang secara khusus karena kebijakan-kebijakan market friendly yang digulirkan menyebabkan daya tahan ekonominya yang jauh lebih baik dari negara-negara lain di dunia saat ini.

Namun di sisi lain, Indonesia juga berpotensi mengalami capital flight yang lebih besar dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping Uni Eropa.

Pertanyaan yang muncul terkait Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tentang masalah Bank Century(BC):

Dalam menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik, selain berdasarkan data dan informasi dari Bank Indonesia tentang kondisi BC, KSSK juga mempertimbangkan data makro tentang perkembangan situasi dan kondisi krisis keuangan dunia serta indikator ekonomi dan keuangan nasional.

BPK dalam laporannya menyatakan bahwa KSSK tidak mempunyai kriteria terukur dalam menetapkan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik. Apakah BPK telah membuat kriteria terukur terkait dengan penetapan suatu bank yang berdampak sistemik?

BPK tidak secara seimbang mengungkap adanya dasar pertimbangan lain dalam memutuskan bail-out Bank Century yaitu situasi dan kondisi makro ekonomi dan keuangan nasional serta internasional.

BPK tidak menggunakan atau mempertimbangkan data kondisi ekonomi makro saat itu untuk memastikan apakah kondisi BC bisa berdampak sistemik atau tidak. Dalam laporan pemeriksaan BPK, lebih banyak menekankan pada kondisi keuangan internal Bank Century dan tidak mengkaitkan dengan situasi kondisi ekonomi makro dunia yang saat ini sedang mengalami krisis.

Terkait keputusan KSSK untuk menyelamatkan BC, Menteri Keuangan mengandalkan data dari Bank Indonesia selaku lembaga independen yang mempunyai otoritas dan kapasitas untuk melakukan analisa dan pengawasan perbankan secara keseluruhan. Hal ini disampaikan melalui surat Gubernur Bank Indonesia nomor 10/232/GB/2009 beserta dokumen pendukungnya dan penjelasan-penjelasan dalam rapat KSSK.

Selain itu, dalam rangka melengkapi informasi untuk mengambil keputusan, Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK juga mempertimbangkan keadaan perekonomian secara makro baik dalam dunia global maupun nasional, dengan beberapa indikasi sebagaimana telah dijabarkan di atas pada bagian Krisis Ekonomi Global, Kondisi Perekonomian Domestik, dan Respon Global dan Negara Tetangga.”

Respons Pemerintah Indonesia

Menyadari biaya yang dikeluarkan Pemerintah di Amerika Serikat dan beberapa negara di Amerika Latin, Eropa, Cina dan Jepang serta beberapa negara di Asean yang semakin mengkhawatirkan dan sudah di luar batas-batas rasional berdasarkan kapasitas keuangan dari negara-negara tersebut, Menteri Keuangan beserta Gubernur Bank Indonesia melakukan langkah-langkah yang komprehensif dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan persuasif maupun regulatif.

Itu semata-mata merupakan panggilan yang mulia sebagai penjaga terdepan dalam pengawasan sistem keuangan nasional demi mencegah terjadinya biaya sosial dan ekonomi yang irasional yang harus ditanggung negara.

Sehubungan dengan upaya menghadapi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional atau menghadapi krisis keuangan, tentu saja perlu ditetapkan suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Proses penyusunan landasan hukum dimaksud dimulai jauh sebelum terjadinya krisis tahun 2008.

Untuk mengantisipasi ancaman krisis keuangan global, Pemerintah menyiapkan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Perppu Perubahan UU Bank Indonesia, dan Perppu Perubahan UU LPS sejak awal 2008. Ketiga Perppu tersebut ditetapkan pada bulan Oktober 2008, tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2008 Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

JPSK diamanatkan dalam Undang-undang No 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. JPSK bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis dengan ruang lingkup bukan hanya meliputi perbankan saja, tetapi juga menyangkut Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan sistem keuangan nasional.

KSSK dan Pengertian Dampak Sistemik

Untuk mencapai tujuan JPSK, dibentuklah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Berdasarkan Perppu JPSK tersebut, yang dimaksud KSSK adalah Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai anggota. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam pencegahan dan penanganan krisis.

Dalam rangka melaksanakan fungsi penetapan kebijakan pencegahan dan penanganan krisis tersebut, KSSK mempunyai tugas untuk mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik, menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/LKBB berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik; dan menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis.

Keputusan rapat dalam KSSK diusahakan dengan suara mufakat, namun jika tidak mufakat ketua KSSK berhak mengambil keputusan secara mandiri.

Terutama yang termaktub dalam Perpu JPSK tersebut, KSSK diberikan tugas (kewajiban) harus melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya krisis di sektor keuangan. Amanat ini bukanlah pesan yang dapat dianggap main-main, sebab selaku pejabat publik yang kepadanya diberikan amanat tersebut, Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK dan Gubernur Bank Indonesia selaku anggota KSSK sepatutnya menjunjung tinggi amanat dimaksud. Kalau tidak, tentu mereka akan bertanggungjawab kepada publik atas kealpaanya.

Pengertian Dampak Sistemik

Sistemik diambil dari kata sistem. Kerusakan sistemik berarti kerusakan menyeluruh pada sistem yang ada.

Beberapa literatur mendefinisikan dampak sistemik, antara lain dari Bank for International Settlements (BIS) mendefinisikan:

“the risk that the failure of a participant to meet its contractual obligations may in turn cause other participants to default with a chain reaction leading to broader financial difficulties.”

European Central Bank (ECB) mendefinisikan :
“…wide systematic shocks which by themselves adversely affect many institutions or markets at the same time. In this sense, systemic risk goes much beyond the vulnerability of single banks to runs in a fractional reserve system.”

Mengacu pada definisi Perppu JPSK, yang dimaksud berdampak sistemik adalah:
“suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah Bank dan/atau Lembaga Keuangan Bukan Bank lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”

Indikator Bank Berdampak Sistemik & Kronologi Penanganan Bank Century

Kriteria suatu bank dapat dikategorikan berdampak sistemik tidak dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-undang. Tidak dinyatakan kriteria ini secara eksplisit disebabkan 2 alasan utama yaitu :

Berpotensi menimbulkan moral hazard

Memanfaatkan celah hukum dan keadaan demi keuntungan pribadi dan pihak lain merupakan perilaku yang sering di dunia bisnis apabila tidak diatur dan kelola sebaik-baiknya. Keterbukaan kebijakan sangat penting tetapi keterbukaan yang berlihan bagaimanapun juga dapat berbahaya. Bagi seseorang yang merasa terdesak akibat kegiatan usaha yang tidak menguntungkan bukanlah sesuatu yang mustahil bagi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang nekad untuk memanfaat semua keadaan demi keselamatan usahanya atau ke luar dari bisnisnya dengan cara-cara yang kurang wajar dan merugikan pihak lain.

Demikian halnya dengan di dunia perbankan, Jika semua bank tahu tentang kriteria berdampak sistemik, dikhawatirkan bank-bank itu akan dengan sengaja mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” agar bisa minta bantuan pemerintah. Hal ini dapat mendorong manajemen bank tidak berhati-hati (prudent) dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Ini adalah bentuk dari moral hazard.

Pengukuran Dampak Sistemik Bersifat Situasional

Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu professional judgement untuk memutuskan hal tersebut.

Namun, dalam melakukan penilaian dampak sistemik, Bank Indonesia mencoba mengadaptasi sistem penilaian berdasarkan framework MoU Uni Eropa. Framework tersebut melakukan penilaian dampak sistemik dari aspek sistem aspek sistem keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran dan sektor riil.

Selain aspek di atas, Bank Indonesia juga menambahkan satu aspek lagi yaitu aspek psikologi pasar. Penambahan aspek psikologi pasar ini ditambahkan karena merujuk pengalaman Indonesia pada krisis 1997-1998 lalu sehingga perlu dimasukkan untuk mencegah krisis serupa terulang. Pada masa itu, penutupan 16 bank yang hanya menguasai 2,3% dari total aset perbankan berdampak psikologis negatif bagi pasar keuangan. Ini berujung pada penarikan besar-besaran dana nasabah di bank-bank lain sehingga mengakibatkan krisis perbankan dan merambah pada krisis keuangan dan sektor lainnya.

Kronologis penanganan Bank Century

Secara umum tahapan penanganan Bank Century dilakukan dalam 3 episode dengan menggunakan regime undang-undang yang pada masing-masing tahapan. Tahap-tahap penanganan Bank Century sesuai dengan ketentuan yang berlaku, adalah sebagai berikut:

Pada tanggal 13 November 2008, untuk pertama kalinya Menteri Keuangan mengetahui kesulitan likuiditas Bank Century setelah BI meminta dilakukan rapat konsultasi dengan Menteri Keuangan. Rapat dilakukan melalui teleconference karena pada waktu itu Dewan Gubernur BI berada di Jakarta, sementara Menteri Keuangan berada di Washington DC untuk menghadiri pertemuan Pimpinan G20 membahas upaya bersama menghadapi krisis keuangan global. Dalam rapat tersebut BI menyampaikan kondisi keuangan BC yang terus memburuk.

Selanjutnya, tanggal 14 November 2008, Menteri Keuangan melaporkan secara lisan kepada Presiden hasil rapat teleconference dengan BI tersebut. Disamping itu juga dilaporkan kondisi ketidakstabilan keuangan global dengan tekanan terhadap sistem keuangan nasional. Kesulitan likuiditas Bank Century terjadi pada saat kepercayaan dan tekanan terhadap sistem keuangan dan perbankan nasional sedang dalam kondisi genting. Setelah mendapatkan laporan itu, Menteri Keuangan diinstruksikan oleh Presiden untuk kembali ke Indonesia setelah pertemuan G20 untuk menangani kondisi perekonomian dan sistem keuangan nasional yang sedang mendapatkan tekanan.

Pertanyaan yang muncul di publik:

Apakah benar pada saat Menteri Keuangan melapor kepada Presiden di Washington DC, Presiden dan bahkan disebutkan Ibu Negara secara khusus menginstruksikan kepada Menteri Keuangan agar menyelamatkan Bank Century?

Hal tersebut sama sekali tidak benar. Yang terjadi sebenarnya adalah Presiden memahami kondisi sistem keuangan yang terjadi di Indonesia dan meminta Menteri Keuangan kembali ke Indonesia lebih awal dari jadwal yang seharusnya, untuk mengambil kebijakan yang diperlukan demi menjaga stabilitas sistem keuangan, bukan untuk menyelamatkan Bank Century.

Kemudian BI meminta rapat konsultasi pertama secara langsung dengan Menkeu pada 17 November 2008, dengan agenda utama adalah membahas perkembangan kondisi Bank Century. Selain Gubernur BI dan Menkeu, rapat juga dihadiri oleh Dewan Gubernur BI. Pada 18 November 2008, diadakan rapat kembali untuk membahas perkembangan masalah Bank Century.

Dalam rapat tersebut, BI mengindikasikan perlunya Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi Bank Century. BI juga menyertakan analisis kondisi perbankan bahwa terdapat 23 peer bank yang berpotensi mengalami kesulitan keuangan (likuiditas dan solvabilitas) jika Bank Century ditutup.

Pada 19 November 2008, rapat kembali diselenggarakan antara Depkeu dengan BI. Dalam pertemuan tersebut BI mempresentasikan kondisi industri perbankan yang mengalami tekanan likuiditas dan penurunan kepercayaan. BI juga menyampaikan Analisis Risiko Sistemik Sistem Perbankan Indonesia.

Kondisi kesehatan keuangan Bank Century ternyata terus memburuk. Tanggal 20 November 2008, rapat Dewan Gubernur (RDG) BI akhirnya menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Pada tanggal tersebut BI menginformasikan perkembangan kondisi Bank Century dan meminta KSSK mengadakan rapat pada hari itu juga karena BI sudah mendeteksi Bank Century akan mengalami kalah kliring dan default pada tanggal 21 November 2009, yang dapat mengancam seluruh sistem pembayaran dan stabilitas perbankan nasional.

Rapat KSSK 20-21 November 2008

Atas dasar permintaan BI, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyelenggarakan rapat KSSK untuk pertama kalinya pada tanggal 20 November 2008. Landasan hukum untuk penyelenggaraan rapat dan kewenangan pengambilan keputusan KSSK didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Sesuai dengan mekanisme rapat KSSK yang ditetapkan melalui Keputusan KSSK Nomor 03/KSSK.01/2008 tanggal 20 November 2008, sebelum dilaksanakan rapat, Sekretaris KSSK bertugas untuk mengecek konsistensi dan kelengkapan dokumen yang disampaikan BI apakah sudah sesuai dengan yang dipersyaratkan atau belum.

Apabila dalam dokumen tersebut ditemukan data yang tidak lengkap atau tidak konsisten, Sekretaris KSSK mengembalikan dokumen tersebut kepada BI untuk dilengkapi atau diperbaiki sebagai prasarat untuk dilakukannya rapat KSSK. Itulah yang terjadi pada saat persiapan rapat KSSK. Tidak ada intervensi apa pun dari Sekretaris KSSK, karena isi dokumen yang disampaikan merupakan kewenangan BI sebagai lembaga yang independen dan kompeten di bidang pengawasan perbankan.

Setelah syarat-syarat pelaksanaan rapat KSSK terpenuhi, rapat dimulai pukul 00.11 tanggal 21 November dengan paparan dan rekomendasi BI mengenai keputusan Dewan Gubernur BI yang menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik. KSSK meminta pendapat dan pandangan dari beberapa pejabat Depkeu, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Bank Mandiri, dan Ketua UKP3R yang diundang dalam rapat konsultasi KSSK.

Para peserta membahas dan mempertanyakan kepada BI berbagai hal detail mengenai kondisi Bank Century, menyangkut reputasi pemilik, kelemahan pengawasan, dan analisis dampak sistemik. BI berkeyakinan bahwa situasi Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik dan mengancam sistem pembayaran dan perbankan nasional.

Pertanyaan yang muncul di publik:

Bahwa hampir seluruh peserta rapat termasuk Menteri Keuangan tidak setuju terhadap dampak sistemik Bank Century, namun pada saat rapat KSSK (yang terdiri dari Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia) memutuskan bahwa Bank Century berdampak sistemik. Mayoritas peserta rapat bukan anggota KSSK dan kehadiran mereka bukan dalam forum pengambilan keputusan KSSK.

Pernyataan dan pendapat para peserta rapat adalah untuk menguji dan mendapat informasi lebih rinci mengenai laporan Bank Indonesia tentang dampak sistemik dalam rangka memberikan keyakinan dalam pembuatan keputusan KSSK.

Bahwa keputusan tersebut dibuat karena Menkeu menerima telpon pada pukul 05.00 WIB pagi dari Presiden yang menginstruksikan agar Bank Century diselamatkan, karena Presiden memiliki kepentingan dengan nasabah terbesar dari Bank Century. Dan disangkakan bahwa Ibu Negara memiliki hubungan dengan pemilik Bank Century. Hal tersebut sama sekali tidak benar.

Berdasarkan rekomendasi yang disampaikan Bank Indonesia, KSSK melakukan rapat pengambilan keputusan yang dimulai pada pukul 04.25 WIB. Data, fakta, informasi dan analisis BI tentang keadaan Bank Century per 31 Oktober 2008 yang diterima oleh KSSK telah cukup menggambarkan kondisi Bank Century yang telah ditetapkan oleh BI sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.

Selain data, fakta, informasi dan analisis yang diterima dari BI, KSSK juga mempertimbangkan informasi yang bersifat makro tentang perkembangan situasi dan kondisi krisis keuangan dunia dan indikator-indikator ekonomi dan keuangan nasional, sebagai dasar penentuan dampak sistemik. Seluruh gabungan data, fakta, informasi dan analisis tersebut sesuai dengan Perppu JPSK telah memenuhi cukup syarat untuk diadakannya rapat KSSK. Dalam rapat tersebut, KSSK menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik dan meminta LPS untuk melakukan penanganan sesuai dengan UU LPS.

Pertanyaan yang muncul terkait Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tentang masalah Bank Century (BC):

BPK menyatakan bahwa penentuan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik tidak didasarkan pada data dan informasi yang lengkap dan mutakhir dari Bank Indonesia mengenai kondisi BC yang sesungguhnya.

Apa yang dimaksud dengan informasi lengkap dan mutakhir? Apa yang menjadi dasar atau kriteria pihak BPK untuk menyatakan bahwa suatu data dan informasi adalah lengkap/tidak lengkap serta mutakhir/tidak mutakhir?

BPK tidak menunjukkan peraturan perundang-undangan yang dilanggar atau tidak dipenuhi terkait Bank Indonesia tidak memberikan data dan informasi yang lengkap dan mutakhir dalam penentuan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.

Dalam Perpu JPSK, UU BI dan UU LPS tidak diatur tentang data dan informasi yang lengkap terkait dengan penetapan bank gagal yang berdampak sistemik.

Informasi yang dipakai KSSK cukup lengkap dan telah memadai sebagai dasar penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik. Ketua KSSK menghargai independensi dan kompetensi Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan perbankan sesuai ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketua KSSK juga berpendapat bahwa data, fakta, dan analisis Bank Indonesia tentang Bank Century per 30 Oktober 2008 yang diterima oleh Bank Indonesia pada 20 November 2008 dianggap telah cukup menggambarkan kondisi Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.

Data per 30 Oktober 2008 digunakan karena waktu untuk audit terbaru sebuah bank paling tidak membutuhkan waktu enam minggu (pengajuan rapat ke KSSK diajukan tanggal 20 November 2008 , belum enam minggu dari waktu audit terakhir). Tentu tidak mungkin audit sebuah bank dilakukan hanya dalam waktu satu atau dua hari saja. Oleh karena itu, data per tanggal 30 Oktober 2008 sudah dianggap mutakhir.

Dalam temuan laporan BPK disebutkan bahwa BI tidak memberikan informasi yang lengkap dan mutakhir mengenai kondisi keuangan Bank Century yang sesungguhnya terkait PPAP (Penyisian Penghapusan Aktiva Produktif) atau pengakuan kerugian atas surat berharga valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas pada saat menyampaikan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK.

Informasi yang tidak lengkap tersebut sebenarnya lebih terkait dengan penentuan jumlah dana yang diperlukan untuk membail-out BC, bukan terkait dengan penentuan dampak sistemik BC. Penentuan dampak sistemik BC selain didasarkan pada data BI tentang kondisi BC juga didasarkan pada data makro tentang perkembangan situasi dan kondisi krisis keuangan dunia serta indikator ekonomi dan keuangan nasional.

Keputusan KSSK Nomor: 04/KSSK.01/2008 tanggal 21 Nopember 2008 yang memutuskan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik adalah hasil rapat yang merupakan forum menurut Perppu JPSK serta telah sesuai Pasal 18 Perppu tersebut.

Selanjutnya, Komite Koordinasi (KK) melaksanakan rapat dan memutuskan untuk menyerahkan penanganan Bank Century yang merupakan Bank Gagal yang berdampak sistemik kepada LPS.

Pertanyaan yang muncul di publik:

Bahwa KSSK wajib meminta persetujuan dari Presiden. Sementara Presiden berada di Luar Negeri, persetujuan wajib dimintakan kepada Wakil Presiden.

Hal tersebut tidak benar. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Perppu JPSK, Ketua KSSK tidak diharuskan meminta persetujuan dari Presiden maupun Wakil Presiden dalam penetapan bank gagal berdampak sistemik karena masih dalam wilayah pencegahan krisis. Pengambilan keputusan tersebut merupakan kewenangan yang sah secara undang-undang yang dimiliki oleh Ketua KSSK. Namun demikian, pada tanggal 21 November 2008 pagi, Menteri Keuangan melaporkan pengambilan keputusan tersebut kepada Presiden melalui pesan singkat yang di-cc-kan kepada Wakil Presiden dan Gubernur Bank Indonesia.

Saat itu, KSSK dihadapkan pada pilihan yang sulit dan dilematis, apakah mengambil aksi untuk menyelamatkan atau membiarkan Bank Century. KSSK mengambil pilihan dengan professional judgement untuk KSSK Penutupan Bank Century, berdasarkan data, fakta, informasi, analisa serta metodologi yang digunakan, ditengarai dapat menimbulkan contagion effect berupa upaya atau kondisi rush terhadap bank-bank lainnya, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil.

Sesuai dengan data dan analisis BI, pada waktu itu terdapat sejumlah 23 bank setara atau lebih kecil dari Bank Century serta sejumlah BPR yang mempunyai masalah likuiditas dan permasalahan lain yang kurang lebih sama dengan Bank Century. Dengan demikian, bila dilakukan penutupan Bank Century, yang secara sistemik akan mempengaruhi bank-bank lainnya tersebut, eskalasi permasalahan yang secara cepat menjalar ke seluruh sistem perbankan nasional sangat dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan dan sistem keuangan secara keseluruhan seperti yang pernah terjadi dalam krisis keuangan yang kita alami pada tahun 1997-1998 dengan dampak negatif yang luar biasa terhadap perekonomian Indonesia.

Rapat tanggal 20-21 November dilakukan secara marathon mengingat permasalahan keuangan Bank Century sebagaimana disampaikan oleh BI ditengarai akan mengalami kalah kliring dan default pada tanggal 21 November 2009 dan hal ini dapat mengancam seluruh sistem pembayaran dan stabilitas perbankan nasional. Oleh karena itu, keputusan harus sudah diambil KSSK sebelum dibukanya transaksi kliring perbankan. Keputusan KSSK dimaksudkan untuk menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional, bukan untuk menyelamatkan individual Bank Century.

Pertanyaan yang muncul di publik:

Mengapa Bank Century yang dinyatakan bank gagal berdampak sistemik oleh KSSK dan bukan bank lain? Apa benar itu merupakan pertimbangan profesional dan proporsional serta bukan karena alasan lain seperti tudingan bahwa itu dilakukan untuk menyelamatkan dana penyandang dana tim kampanye presiden SBY saat itu?

Bank Century dibantu karena bank tersebut memiliki CAR negatif dan berpotensi memicu kerusakan sistemik pada masa itu. Jadi bukan dilihat sekadar dari size-nya. Jika ternyata bank itu adalah bank lain, maka bank lain itu juga akan diperlakukan serupa. KSSK tidak mendasari putusannya dengan melihat siapa pemilik bank itu, apakah penjahat atau bukan.

Tidak juga melihat siapa nasabahnya atau apa kepentingan nasabahnya. Kepedulian KSSK semata-mata hanya menyelamatkan perekonomian nasional. Kebetulan saja, salah satu caranya adalah dengan memasukkan Bank Century ke dalam penanganan LPS dengan status perlu diselamatkan karena jika tidak akan menimbulkan kerusakan sistemik.

Kalangan praktisi dan pemerhati perbankan menilai langkah yang diambil oleh KSSK sudah tepat. Kondisi sistem keuangan saat itu sangat genting sehingga penutupan suatu bank walaupun hanya seukuran Bank Century harus diselematkan demi mengamankan kepentingan yang lebih besar yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.

A. Toni Prasetiantono (Ekonom BNI)
Koran Tempo dan Jurnal Nasional, 14 September
Jika Century dilikuidasi, kerugian bisa membengkak menjadi Rp 30 triliun. Keputusan menyelamatkan Century sudah tepat karena perekonomian nasional pada pertengahan November 2008 tengah tertekan krisis keuangan.

Mirza Adityaswara (Pengamat Ekonomi)
Koran Tempo, 23 November 2009
Apa yang dilakukan Boediono dan Sri Mulyani sudah tepat. Kondisi pada 2008 memang mengharuskan bank itu diselamatkan.

Chatib Basri (Pengamat Ekonomi)
Pemberian dana talangan kepada Bank Century dinilai tepat untuk menyelamatkan dana nasabah sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap Bank dan antisipasi dampak sistemik rush. Jika Century ditutup, maka nasabah akan lebih percaya bank asing daripada bank lokal. Mengenai indikasi pidana, biarlah ditelusuri aparat terkait.

Landasan Hukum dari Kebijakan

Suatu kebijakan dinilai akuntabel apabila telah memenuhi 3 (tiga) asas, sebagai berikut: (i) asas kesesuaian aturan perundang-undangan, (ii) asas kewenangan yang sah, dan (iii) asas tujuan yang bermanfaat dan bertanggung-jawab.

Kebijakan KSSK dalam rangka menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik pada hakekatnya telah memenuhi ketiga asas tersebut di atas.

Penanganan Bank Century sebelum masuk ke KSSK dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan UU Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 18 Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK), Bank Indonesia melalui surat Gubernur Bank Indonesia Nomor: 10/2/GBI/DPNP/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang pembahasan tindak lanjut penanganan Bank Century, menyampaikan informasi mengenai perkembangan kondisi Bank Century dan meminta KSSK untuk mengadakan rapat pada hari itu juga.

Menindaklanjuti permintaan rapat sebagaimana butir 2, Bank Indonesia pada tanggal yang sama melalui surat Gubernur Bank Indonesia tentang penetapan status Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik meminta diselenggarakan rapat KSSK dan menyampaikan (i) kondisi terakhir Bank Century, (ii) analisa dampak sistemik terhadap kegagalan Bank Century, (iii) tindak lanjut penanganan Bank Century:

Bank Indonesia menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik (Keputusan Rapat Dewan Gubernur tanggal 20 November 2008);

Bank Indonesia mengusulkan penyelamatan Bank Century oleh LPS sesuai Pasal 18 Perppu JPSK.

Berdasarkan permintaan Bank Indonesia tersebut, Sekretariat KSSK melakukan pengecekan kelengkapan dan konsistensi dokumen sesuai dengan mekanisme rapat KSSK sesuai dengan Keputusan KSSK tanggal 20 November 2008 tentang Mekanisme Rapat KSSK. Berdasarkan hasil pengecekan tersebut, Bank Indonesia melengkapi dokumen yang diperlukan sehingga memenuhi syarat untuk diadakan rapat KSSK.

Dengan telah terpenuhinya syarat-syarat tersebut diatas, maka diselenggarakan rapat KSSK untuk mendapatkan penjelasan, saran dan pendapat dari beberapa pejabat Depkeu, Bank Indonesia, LPS, Bank Mandiri, dan Ketua UKP3R. Rapat ini bukan dalam rangka pengambilan keputusan KSSK.

Setelah mendapatkan penjelasan, saran dan pendapat tersebut diatas, KSSK menyelenggarakan rapat dalam rangka pengambilan keputusan sesuai dengan Pasal 10 Perppu JPSK. Rapat ini dihadiri oleh Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota KSSK, Sekretaris KSSK, dan Sdr. Arif Surowidjojo selaku konsultan hukum. Rapat memutuskan Bank Century sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik. Keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan KSSK tanggal 21 November 2008. Keputusan KSSK tersebut sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Perppu JPSK.

Sesuai dengan Pasal 2 Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Perppu JPSK dimaksud bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Untuk mencapai tujuan tersebut, berdasarkan Perppu tersebut dibentuk KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan selaku Ketua merangkap anggota dan Gubernur Bank Indonesia selaku anggota.

Di dalam Perppu JPSK tersebut, KSSK diberikan fungsi untuk menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis disertai tugas-tugas atau tindakan-tindakan yang sepatutnya mereka lakukan pada saat akan atau sedang terjadi krisis.

Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK serta Gubernur BI selaku anggota, wajib melaksanakan fungsi dan tugas-tugas yang diamanatkan kepada mereka. Kewajiban ini merupakan amanat Perppu JPSK. Amanat ini sekaligus merupakan dasar hukum bagi KSSK untuk melaksanakan segala sesuatunya terkait dengan krisis tersebut, yang apabila mereka tidak melaksanakan fungsi dan tugas-tugas tersebut, mungkin akan menjadi pertanyaan atau gugatan yang dapat diajukan kepada mereka, karena alpa (tidak melaksanakan kewajiban hukum) untuk melaksanakan fungsi dan tugas-tugas yang sepatutnya mereka lakukan pada saat akan atau sedang terjadi krisis.

Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Perppu JPSK, Bank Century yang telah ditetapkan sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik, penanganannya dilakukan oleh LPS. Menindaklanjuti Keputusan KSSK yang menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal berdampak sistemik, maka pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 21 November 2008, berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UU LPS diselenggarakan rapat Komite Koordinasi yang dihadiri oleh seluruh anggota KK (Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS). Komite Koordinasi sepakat menyerahkan Bank Century kepada LPS untuk ditangani sesuai dengan ketentuan UU LPS. Keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Komite Koordinasi Nomor 01/KK.01/2008 tanggal 21 November 2008.

Guna memperlancar tugas Komite Koordinasi (KK), melalui Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan pada tahun 2005 yang kemudian diperbaharui pada tahun 2007, dibentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang antara lain mempunyai fungsi menunjang pelaksanaan tugas KK dalam rangka pengambilan keputusan terhadap Bank bermasalah yang ditengarai berdampak sistemik.

FSSK telah secara aktif melaksanakan tugas yang diamanatkan KK selama periode 2007-2008. Aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan oleh FSSK diantaranya : (1) menyusun crisis management protocol (CMP) yang merupakan mekanisme dan tata cara koordinasi antarotoritas yang bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas sistem keuangan; (2) melakukan kegiatan monitoring secara rutin terhadap perkembangan sistem keuangan Indonesia dengan memetakan risiko-risiko keuangan yang timbul baik dari kondisi domestik maupun global. Hal ini menunjukkan bahwa KK telah beroperasi secara efektif sebelum penanganan Bank Century. Dengan demikian KK sudah sah ada/terbentuk, baik demi Undang-Undang, maupun dari kenyataannya.

Dalam hubungan dengan penanganan permasalahan Bank Century, KSSK mempertimbangkan dampak berantai yang mungkin akan terjadi (contagion effect) yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, dalam rangka menetapkan kebijakan yang akan diambil, KSSK mempertimbangkan berbagai hal yang mencakup kondisi perekonomian nasional, regional dan perekonomian global yang pada saat itu sedang dalam kondisi krisis berikut dampak psikologisnya.

Dalam pengambilan keputusan, tidak dapat dipungkiri adanya faktor profesional judgment yang didasarkan kepada kondisi objektif Bank Century dan kondisi perekonomian nasional, policy response negara-negara lain terhadap krisis global, serta pengalaman Indonesia dalam krisis tahun 1997-1998.

Professional judgment yang dilakukan tersebut di dasarkan pada indikator-indikator ekonomi, baik global maupun domestik, yang mengindikasikan terjadinya krisis sistem keuangan. Selain itu, secara umum Bank Century telah memenuhi kualifikasi sebagai Bank Gagal karena pada saat itu Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya negatif 3,53 persen. Sedangkan mengenai dampak sistemik Bank Century, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Dalam kondisi normal, penutupan bank seukuran Bank Century diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain atau sistem perbankan nasional. Namun demikian, dalam kondisi perekonomian yang bergejolak sebagaimana tersebut di atas, maka penutupan Bank Century akan menimbulkan dampak sistemik (contagion effect) berupa upaya atau kondisi rush terhadap bank-bank lainnya, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil (Sumber Bank Indonesia).

Pertanyaan yang muncul terkait Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tentang masalah Bank Century:

Apakah dalam penanganan bail-out Bank Century (BC) terdapat tindakan oleh KSSK/Menteri Keuangan yang melawan hukum? Hal tersebut tidak benar.

Tindakan KSSK dalam melakukan penyelamatan/bailout Bank Century tidak mengandung unsur melawan hukum, karena:

Penetapan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik yang dilakukan oleh KSSK pada tanggal 21 November 2008 memiliki landasan hukum, yaitu didasarkan pada Perppu Nomor 4 Tahun 2004 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

KSSK mempunyai kewenangan menetapkan bank gagal yang berdampak sistemik dengan memperhatikan usulan Bank Indonesia (Pasal 18 ayat (1) Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK)

Keputusan KSSK nomor; 04/KSSK.03/2008 tanggal 21 November 2008 yang menetapkan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan meminta LPS untuk melakukan penanganan sesuai dengan UU LPS ditetapkan sebelum tanggal 18 Desember 2008, yaitu saat DPR meminta Pemerintah mengajukan RUU tentang JPSK paling lambat 1 Januari 2009

Terkait perkembangan kondisi makro tentang situasi dan kondisi krisis keuangan dunia serta indikator ekonomi dan keuangan nasional maka Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal atau pejabat yang bertanggung jawab menjaga stabilitas keuangan memiliki kewajiban hukum untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan BC yang mengancam stabilitas keuangan nasional karena jika tidak bertindak maka Menteri Keuangan bisa disalahkan atau dianggap gagal.

Peran Institusi dalam Penanganan Bank Century

Terdapat tiga lembaga utama yang berperan dalam proses penanganan Bank Century yaitu Bank Indonesia, KSSK, dan LPS.

Bank Indonesia (BI):
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang no.3 tahun 2004 maka BI memiliki fungsi pengawasan sepenuhnya dan independen terhadap bank-bank yang ada di Indonesia. Dalam fungsi ini melekat kewenangan yang dimiliki BI untuk merekomendasikan rapat kepada KSSK jika menemukan bank yang mengalami kesulitan keuangan (kesulitan likuiditas dan permasalahan solvabilitas) dan ditenggarai berdampak sistemik. Hal ini diatur dalam Perppu JPSK (Perppu Nomor 4 Tahun 2008) yang berlaku efektif sejak 15 Oktober 2008.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)

Berdasarkan Perppu JPSK, yang dimaksud KSSK adalah Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai anggota. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam pencegahan dan penanganan krisis. Keputusan rapat dalam KSSK diusahakan dengan suara mufakat namun jika tidak mufakat, ketua KSSK berhak mengambil keputusan secara mandiri. Dalam pasal 20 dijelaskan kewenangan KSSK untuk mengambil tindakan penanganan krisis dan tidak disebut keharusan ketua KSSK untuk meminta izin dari Presiden RI maupun Wapres RI dalam pengambilan keputusan.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
LPS didirikan berdasarkan UU No 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang berfungsi menjamin simpanan nasabah bank (dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito dan tabungan). LPS harus aktif memelihara stabilitas sistem perbankan nasional. Untuk itu, LPS berwenang menetapkan dan memungut premi penjaminan dari bank-bank (yang dikumpulkan menjadi dana LPS) dan menangani bank gagal.

Pasal 37 menyatakan bahwa LPS bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan bank gagal setelah pemegang saham lama melakukan penyertaan modal. Biaya itu akan masuk dalam penyertaan modal sementara LPS kepada bank.

Kekayaan LPS dan Penyertaan Modal Sementara pada Bank Century

Kekayaan LPS pada pertengahan November 2008 lalu berkisar senilai Rp 14 triliun. Kekayaan LPS tersebut terdiri atas sebesar Rp 10 triliun yang berasal dari premi bank-bank yang dijamin LPS dan Rp 4 triliun yang berasal dari modal awal pemerintah dan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Dana LPS untuk menangani Bank Gagal dari premi dan bukan dana APBN yang disetor sebagai modal awal pada tahun 2004. LPS tidak membutuhkan izin DPR untuk menggunakan dananya dalam rangka penanganan Bank Gagal.

Berdasarkan Pengumuman LPS Nomor Peng.005/KE/XII/2009 tentang Langkah-Langkah Penanganan PT Bank Century, Tbk oleh LPS dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

Dalam rangka penanganan Bank Century, LPS telah menyetor biaya penanganan yang merupakan Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS pada Bank Century dengan total sebesar Rp6,76 triliun untuk memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank.

Biaya penanganan tersebut merupakan tambahan modal Bank Century yang disetorkan secara tunai sebesar Rp5,31 triliun dan dalam bentuk penyerahan Surat Utang Negara senilai Rp1,45 triliun. Dalam rangka memastikan adanya akuntabilitas yang memadai, penetapan biaya penanganan dilakukan dalam 4 tahap yang merupakan satu kesatuan yang didasarkan pada data/assessment dari Bank Indonesia dan Kantor Akuntan Publik (KAP).

Penetapan biaya penanganan dilakukan pada tanggal 23 November 2008 sebesar Rp2,77 triliun, tanggal 5 Desember 2008 sebesar Rp2,20 triliun, tanggal 3 Februari 2009 sebesar Rp1,16 triliun, dan tanggal 21 Juli 2009 sebesar Rp630 miliar.

Sumber dana untuk PMS berasal dari kekayaan LPS yang sampai akhir bulan Oktober 2009 berjumlah Rp18 triliun, termasuk PMS pada Bank Century sebesar Rp6,76 triliun. Kekayaan tersebut terutama berasal dari modal awal sebesar Rp4 triliun, penerimaan premi dari bank peserta penjaminan selama 4 tahun sebesar Rp12,9 triliun dan hasil investasi Surat Utang Negara/Sertifikat Bank Indonesia. Dengan demikian, PMS tersebut dapat tertutupi dari premi yang diterima.

Pertanyaan yang muncul terkait Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tentang masalah Bank Century:

Apakah dalam penanganan/bail-out Bank Century (BC) terdapat unsur Kerugian Negara?
Hal tersebut tidak benar.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dana yang dikucurkan ke BC bukan berasal dari APBN, melainkan berasal dari LPS. Sampai akhir September 2009 total kekayaan LPS mencapai Rp18 T, termasuk modal awal Pemerintah sebesar Rp. 4 T. Penanganan BC yang berjumlah Rp6,76 T adalah seluruhnya berasal dari kekayaan LPS dalam bentuk penyertaan modal sementara (PMS) di Bank Century. Jadi dalam penanganan BC tersebut belum ada modal awal Pemerintah, atau dengan kata lain dana APBN yang digunakan.

Sesuai dengan pasal 2 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka kekayaan negara yang dipisahkan/ditanamkan pada LPS masuk dalam lingkup keuangan negara namun aktiva dan kewajiban bukan merupakan aset negara maupun hutang negara. Penyertaan modal Pemerintah dalam LPS merupakan kekayaan negara yang dipisahkan yang pengelolaannya tunduk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang LPS dan pengolalaannya tidak tunduk pada administrasi keuangan negara.

Uang yang dikeluarkan oleh LPS dalam menangani BC dalam bentuk penyertaan modal sementara tidak masuk dalam pengertian pengeluaran negara dan tidak ada kerugian negara yang terjadi.

Dalam Perppu No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), KSSK berkewajiban menangani masalah kesulitan likuiditas dan solvabilitas bank yang berdampak sistemik dengan alternatif:

Pemberian FPD (Fasilitas Pendanaan Darurat) oleh Bank Indonesia yang dananya dibiayai APBN. Penyelesaian penanganan bank gagal berdampak sistemik oleh Lembaga Penjamin Simpanan (dalam bentuk Penyertaan Modal Sementara atau PMS)

Dalam penanganan BC, KSSK mengambil langkah penyelesaian tidak dengan pemberian FPD (dana APBN) tetapi melalui dana LPS (dalam bentuk PMS).

Pertanyaan lain yang muncul di publik:

Bahwa dana Penyertaan Modal Sementara LPS pada Bank Century dialirkan kepada nasabah besar yang merupakan penyumbang kampanye partai Demokrat dan Tim pemenangan Pilpres SBY-Boediono. Hal tersebut sama sekali tidak benar.

Yang sebenarnya terjadi adalah adanya penarikan dana oleh nasabah individu, korporasi swasta dan BUMN yang memang merupakan hak mereka selaku nasabah. Kalaupun ternyata ada aliran dana ke partai atau bank lain, itu adalah hak masing-masing individu yang memiliki dana tersebut. Bahwa dana PMS digunakan untuk membayar nasabah besar saja, sementara nasabah kecil tidak dibayar.

Hal tersebut sama sekali tidak benar, karena penarikan dana nasabah dilakukan oleh nasabah individu, korporasi dan BUMN.

Sumber:
Detik.com


Semoga bermanfaat dan dapat menjawab keraguan para pembaca terhadap kasus BC.

Tulisan ini juga sudah diposting di Kompasiana


EmoticonEmoticon