Saya sedih sekaligus geram saat mendengar masih ada mantan pejabat yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Betapa sudah banyak orang yang telah dijebloskan ke penjara karena korupsi, masih ada saja orang yang nekad. Bagi orang yang mau mengambil pelajaran dari suatu kejadian, mestinya cukup bagi mereka, rekan-rekan atau siapapun yang telah melakukan korupsi telah divonis dan dipenjara sebagai itibar.
Meski aneka cara untuk melakukan tindak pidana korupsi telah dilakukan, akan tetapi aparat hukum juga tidak kalah canggih dalam mengendus berbagai trik dalam menggelapkan uang. Menurut saya sangat konyol bila masih ada pejabat yang melakukan korupsi, apalagi dengan cara yang konvensional seperti mark up proyek atau pengadaan barang sebagaimana kasus yang menimpa mantan Mensos pada KIB I, BC. Tapi cara seperti itu yang sangat mudah dilakukan dan biasanya nilai uangnya juga besar.
Meski sudah berulang kali para pelaku tipikor ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tidak membuat aktivitas korupsi berkurang. Ada saja orang yang tetap enak-enakan melakukan korupsi seolah-olah tidak akan ketahuan. Sebenarnya, apa sih faktor yang mendorong orang untuk melakukan korupsi? Alasan klasik biasanya adalah gaji yang tidak cukup untuk menutupi kebutuhan. Sedikit bisa ditolerir alasan tersebut bila yang melakukan korupsi adalah para pekerja/pegawai rendahan. Meski begitu yang namanya korupsi tetaplah tindak pidana. Tapi alasan semacam itu hanyalah halusinasi bila dijadikan sebagai alibi bagi para pejabat tinggi yang dari segi penghasilan sudah lebih dari cukup, ditambah tersedianya berbagai fasilitas. Alasan yang bisa kita terka-terka adalah gaya hidup yang tinggi karena menjaga image dan status karena itu ’stabilitas’ finansial terus dijaga dengan apapun caranya, dan karena balas budi bagi pihak-pihak yang telah memberi jalan atas jabatannya itu.
Bagi para pejabat yang memiliki afiliasi dengan parpol, biasanya akan berhutang budi dengan parpol tersebut dan sebagai kompensasinya akan membantu kebutuhan finansial parpol,yang dananya biasanya dicari dengan cara-cara ilegal, seperti mengakali berbagai proyek agar mendapatkan keuntungan finansial dari situ. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Yusuf EF, mantan Ketua Komisi IV DPR sekaligus suami dari artis terkenal era 80-an. Terhukum membantu (sebagai balas budi) kepada PKB berupa uang milyaran rupiah. Uang sebesar itu tidak mungkin dari kocek pribadinya. Eman-eman, istilah Jawanya. Dan biasanya orang cenderung royal terhadap uang yang diperoleh dari mencuri atau korupsi. Kini yang bersangkutan telah divonis penjara selama 4,5 tahun.
Sedangkan bila pejabat diangkat dari profesional independen, tidak tertutup kemungkinan akan memberikan balas budi kepada atasan yang telah mengangkatnya.
Untuk mengendalikan nafsu korupsi, berikut ada sebuah kisah yang bisa menjadi pegangan bagi siapa saja, khususnya pegawai pemerintahan, dalam bekerja sehari-hari, yaitu dalam hadis riwayat Abu Humaid As-Saidi radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan seorang lelaki dari suku Asad yang bernama Ibnu Lutbiah Amru serta Ibnu Abu Umar untuk memungut zakat. Ketika telah tiba kembali, ia berkata: Inilah pungutan zakat itu aku serahkan kepadamu, sedangkan ini untukku yang dihadiahkan kepadaku. Lalu berdirilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda: Apakah yang terjadi dengan seorang petugas yang aku utus kemudian dia kembali dengan mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah dia akan diberikan hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kamu yang mengambil sebagian dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang membawanya dengan seekor unta yang melenguh di lehernya yang akan mengangkutnya atau seekor sapi yang juga melenguh atau seekor kambing yang mengembek. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih ketiaknya. Kemudian beliau bersabda: Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Beliau mengulangi dua kali (Shahih Imam Muslim No. 3413).
Dari kisah itu sangat jelas bahwa siapa saja yang diberi amanah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dibayar/digaji atas pekerjaannya itu, tidak diperbolehkan menerima hadiah karena pekerjaan/jabatan tersebut. Ukurannya adalah apabila ia bukan siapa-siapa (bukan pegawai/pejabat) dan berdiam saja di rumah, apakah akan ada orang yang mau memberi hadiah?
Ironi yang terjadi dari dulu sampai sekarang adalah adanya anggapan bahwa menerima hadiah bagi seorang pejabat adalah hal yang lumrah. Padahal 14 abad yang lalu Nabi SAW telah melarangnya dan kini KPK pun tegas menerapkan aturan tersebut sebagaimana pernyataan mutakhir KPK terkait pemberian honor oleh bank-bank daerah kepada pejabat pemerintah daerah setempat, agar dikembalikan.
Akhirnya, sikap etik terkait pantas atau tidak menerima pemberian dari orang lain karena jabatan, kembali berpulang kepada masing-masing individu. Semua ada mekanisme dan kode etik yang mengatur.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Kompasiana
Jumat, 05 Februari 2010
Hari Gini Masih Berurusan sama KPK?
✔
Unknown
Tags
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon