Sabtu, 27 Maret 2010

Badai Sedang Mendera Ditjen Pajak

Hari-hari ini institusi pajak sedang mengalami ujian yang cukup berat terhitung sejak dicanangkannya reformasi birokrasi awal tahun 2000 yang lalu. Sebenarnya ujian ini tidak hanya terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tetapi juga pada Menkeu karena DJP di bawah Kementerian Keuangan. Bagi pihak-pihak yang tidak suka terhadap Menkeu, adanya kasus korupsi di DJP ini menjadi amunisi baru untuk kembali melancarkan ‘serangan’.

Ujian ini berasal dari seorang oknum pegawai pajak rendahan yang baru 10 tahun bekerja tetapi memiliki kekayaan yang luar biasa banyak. Banyaknya kekayaaan ini jauh melampaui aset yang dimiliki presiden Sby. Aset presiden Sby ‘hanya’ Rp 7,6 milyar per November 2009. Sedangkan aset oknum ini puluhan milyar. Di bank saja saldonya Rp 25 milyar, belum termasuk fixed asset (rumah, apartemen, dan mobil-mobil mewahnya). Luar biasa! Tentu hal ini menimbulkan kecurigaan. PPATK lah yang pertama kali curiga karena lembaga ini yang memiliki kewenangan mengolah dan melaporkan data transaksi perbankan ke pihak berwajib apabila ada transaksi yang mencurigakan.


Dalam kasus ini kita patut berterima kasih kepada Komjen Susno Duaji. Karena kalau bukan ‘nyanyian’ beliau, mustahil kasus ini akan diketahui masyarakat. Sebelum pak SD membeberkan, nyaris tidak ada pers yang memberitakan. Begitu rapi dan canggih skenario yang dibuat oleh para pihak yang terlibat.

Lalu, bagaimana cara oknum pajak memperkaya diri sehingga memiliki harta yang begitu fantastis? Cara yang umum digunakan oleh para oknum adalah melalui prosedur pemeriksaan atas pemenuhan kewajiban perpajakan para wajib pajak (WP). Pemeriksaan atas kewajiban perpajakan WP sebenarnya tindakan legal oleh aparat pajak (fiskus) karena diamanatkan dalam undang-undang perpajakan. Undang-undang yang menjadi dasar dilakukannya pemeriksaan adalah UU Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2007.

Ada beberapa kriteria terhadap WP untuk bisa dilakukan pemeriksaan, satu diantaranya apabila surat pemberitahuan (SPT) menunjukkan pajak yang disetor lebih banyak dari yang seharusnya. Bila hal ini terjadi, kelebihan tersebut adalah hak WP untuk diminta kembali. Hanya saja, untuk bisa mengembalikan uang (setoran pajak) yang sudah masuk ke kas negara, harus melalui pemeriksaan atas dokumen perpajakan dan dokumen pendukungnya. Tujuan pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pajak yang telah dibayar sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.

UU terkait pelaporan SPT Pajak Penghasilan (PPh) adalah UU PPh, yaitu Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008. Bila terkait pemeriksaan SPT PPN (Pajak Pertambahan Nilai), maka yang berlaku adalah UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 dan berbagai peraturan di bawahnya (Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Dirjen, dll)

Titik krusial terjadinya negosiasi antara pihak WP dengan fiskus ada ditahap ini, yaitu saat diketahui adanya selisih perhitungan pajak. Selisih ini umumnya berasal dari tidak diterapkan sepenuhnya peraturan perpajakan oleh WP atau dokumen pendukung pelaporan pajak tidak lengkap atau dari analisis keuangan oleh pihak fiskus.

Sebagai fiskus, dalam pemeriksaan ditekankan agar menghasilkan penerimaan pajak (ke negara) semaksimal mungkin berdasar ketentuan. Di pihak lain, WP umumnya tidak mau membayar pajak yang besar, karena itu atas inisiatif baik dari WP maupun fiskus sendiri dilakukan kompromi agar pajak yang timbul dari hasil pemeriksaan ini menjadi kecil. Dan deal pun biasanya terjadi. WP diuntungkan karena pajak yang masih harus dibayar menjadi kecil, fiskus juga biasanya memperoleh fee dari kesepakatan ini. Andai pajak yang masih harus dibayar bernilai milyaran, tidak heran bila deal-nya juga bernilai besar. Perlu diketahui bahwa pemeriksaan pajak dilakukan oleh sebuah tim, tidak individual.

Sedangkan kemungkinan modus yang dilakukan oleh Gayus adalah deal dalam hal pengurangan pajak setelah pemeriksaan selesai (tanda pemeriksaan usai adalah diterbitkannya surat ketetapan pajak). Dalam contoh modus di atas, deal dilakukan selama proses pemeriksaan yang tujuannya agar pajak yang ditetapkan kecil.

Bahwa dalam pendekatan untuk mengurangi jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak selalu terjadi kesepakatan antara WP dengan fiskus. Bila tidak ada kesepakatan, biasanya ketetapan pajak yang masih harus dibayar dikeluarkan sesuai apa adanya. Bisa jadi sangat memberatkan WP karena nilainya besar. Tetapi masih ada hak WP untuk mengajukan keberatan atas ketetapan tersebut. Nah, pengajuan keberatan ini diproses oleh para Penelaah Keberatan, sebagaimana yang jabatan Gayus sebelum di-non-job-kan.
Hasil akhir dari upaya permohonan keberatan bisa berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian atau menolak. Jadi, bisa saja sebuah ketetapan pajak (yang harus dibayar oleh WP) nilainya milyaran, setelah diajukan keberatan menjadi bernilai nihil. Artinya, tidak ada yang perlu dibayar lagi oleh WP. Proses ini yang kemungkinan dimainkan oleh Gayus dan oknum lainnya. Yaitu dengan berbagai cara mencari celah hukum untuk mengabulkan permohonan keberatan WP, yang tentu saja dengan kompensasi sejumlah uang.
Modus lainnya masih ada beberapa cara lagi, dan contoh di atas, dalam hal deal-nya, sudah mencerminkan dari modus-modus lainnya.
Fenomena memperkaya diri oknum di lingkungan Ditjen Pajak sebenarnya sudah sangat jauh berkurang sejak dicanangkannya reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai penilaian positif terhadap institusi baik pajak maupun Bea Cukai. Dan kedua institusi ini sudah tidak masuk ke jajaran institusi terkorup. Masyarakat pun sudah banyak yang mengapresiasi kinerja kedua institusi ini. Jadi kejadian atau ulah yang dilakukan oleh satu dua orang telah mencoreng kembali wajah DJP yang sudah mulai bersih. Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi para pegawai yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama, yaitu memperkaya diri dengan cara melanggar hukum, bila tidak ingin dikejar-kejar pihak berwajib.


EmoticonEmoticon