Sabtu, 31 Juli 2010

Andai Para Pejabat Seperti Dahlan Iskan



Ada banyak cara untuk menunjukkan eksistensi diri kepada orang lain. Mulai cara ekstrem seperti Ariel Peterpan dengan resiko dicacimaki hingga dipenjara, cara konglomerat yang menghamburkan uang ke seluruh nusantara demi popularitas diri melalui ormas barunya, hingga cara menulis. Cara terakhir inilah yang cukup elegan. Salah satu yang melakukan cara ini adalah Dahlan Iskan (Dis).

Melalui tulisan, publik menjadi mengenal sosok, pikiran atau ide dan kualitas diri penulis. Bahkan sebuah tulisan adalah bagian dari self-ad. Bagi yang biasa mengikuti jalan pikiran pak Dis lewat tulisannya yang rutin dipublikasikan di jaringan medianya, akan tahu, misalnya, kenapa PLN kini sudah berubah drastis ke track yang positif.

Jujur saja, saya mudah kagum pada seseorang hanya melalui tulisan-tulisannya. Lebih-lebih, bila antara tulisan dan kinerjanya sejalan. Sosok pak Dis adalah ideal karena apa yang ditulis, begitu pula yang dia kerjakan. Bukan seperti politisi Senayan yang bisanya cuma ngomong saja. Hingga karena jengkelnya, seorang aktor Pong Harjatmo tak sungkan mencoret-coret atap gedung wakilnya tersebut.


Apa Istimewanya Pak Dis?

Meski saya bukan pegawai PT PLN, tetapi saya termasuk dari ribuan orang yang beruntung karena membaca satu dari enam CEO's Note. CEO's Note ini adalah surat Dirut PT PLN ke seluruh karyawannya yang berjumlah lebih 40000 orang. Setiap bulan sejak pak Dis memimpin PT PLN, beliau selalu mengirim CEO's Note.

Melalui CEO's Note, pak Dis menyampaikan banyak hal. Mulai dari aktivitasnya sehari-hari seperti berangkat kerja jam 05.45 dengan jalan kaki, tidak pernah absen selama enam bulan memimpin PT PLN, tidak bicara dan tidak pergi untuk urusan selain listrik (sehingga acara keluarga dan undangan pernikahan teman pun ditinggalkan demi urusan listrik), sampai bercerita mengenai kemajuan PT PLN, yaitu byar pet dan pemadaman bergilir di berbagai daerah sudah teratasi, penghematan biaya seperti perbaikan PLTA Tanggari I & II di Minahasa yang menelan biaya Rp 1,4 milyar saja dari proposal Rp 14 milyar (ini adalah buah dari kebebasan berkreasi yang diberikan oleh CEO mengingat SDM PT PLN adalah well-educated (20 orang doktor dan 600 master) sehingga sangat menghemat biaya operasional), dan lainnya.

Idealnya, seorang pejabat adalah mereka yang sudah mapan dalam finansial dan moral, sehingga godaan apapun tidak akan membuatnya goyah. Dirut PT PLN yang dulu adalah anak seorang tukang kayu dan pergi sekolah serta mengaji tanpa alas kaki itu kini menjadi seorang konglomerat. Dari sisi finansial sudah sangat mapan dan dari sisi moral juga tidak diragukan. Kolaborasi dari dua sisi ini menciptakan sinergi pribadi yang tepat untuk memegang jabatan publik.

Maka, jangankan untuk korupsi, berpikir ke arah sana pun tidak. Simak kehati-hatian pak Dis terhadap najis korupsi. Pertama, beliau tidak tinggal di rumah dinas. Mobil dinas pun tidak dipakai. Beliau lebih suka menggunakan mobil pribadi dan sopirnya pun bukan pegawai PT PLN. Bahkan untuk beli bensin pun menggunakan uang pribadi. Sampai tanggapan wayang di kantor pusat PT PLN dalam rangka 'Menuju Indonesia Menyala' dengan tiga orang dalang kondang pun dibiayai dari kocek pribadi pak Dis.

Beliau meminta KPK mengawasi langsung pengadaan di PT PLN dan membuka pintu bagi BPK untuk masuk ke sistem keuangan secara on line dan real time. Sulit hal ini ditemui saat PT PLN dipimpin oleh manajemen lama. Bahkan pimpinan sebelum pak Dis harus berurusan dengan KPK.

Adakah pejabat publik lainnya di Indonesia seperti pak Dis?


EmoticonEmoticon