Rabu, 11 Agustus 2010

Penentuan Bulan Hingga Luasnya Alam Semesta


Di bawah ini adalah tulisan sangat menarik dari seorang wartawan Kompas, Haji Ninok Leksono, yang tulisan-tulisannya jarang saya lewatkan. Tulisan beliau selalu tentang ilmu pengetahuan terutamanya tentang teknologi canggih dan masalah benda-benda langit.

Tulisan ini saya copas dari Harian Kompas, 11 Agustus 2010. Setelah membaca tulisan pak Ninok, saya kembali tersadar bahwa manusia di bumi ibarat sekumpulan debu, sekali lagi debu, bila dibandingkan dengan satu buah galaksi, padahal di alam semesta ini (universe) diketahui ada 125.000.000.000 galaksi. Manusia menjadi semakin tidak ada apa-apanya dibanding luasnya alam semesta.

Tapi sudah merupakan sifat dasar manusia untuk selalu merasa lebih hebat dan lebih besar, bahkan terhadap Sang Pencipta sekalipun!! Karena itu, di hari pertama bulan Suci Ramadhan ini marilah kita berintrospeksi diri dan menimbang diri apakah tindak tanduk kita selama ini sudah sesuai dengan kehendak-Nya sebagaimana tertera dalam kitab suci-Nya.

Silakan disimak tulisan pak Ninok di bawah ini.

Puasa demi puasa, Lebaran demi Lebaran, satu hal yang terus mengiringi adalah penetapan bulan baru, yang didasarkan oleh penglihatan (rukyat) atau penghitungan (hisab). Keduanya melambangkan kecerdasan manusia, dan karena itu sama-sama berkahnya, tidak perlu dipertentangkan.

Kedua metode juga diterima sebagai mazhab dalam ilmu astronomi, yang mempelajari langit dan serba isinya. Ada yang mempelajari semesta secara observasi, dengan teleskop yang makin lama makin canggih; tetapi juga ada yang mendapatkan pengetahuan tentang kosmos dengan kekuatan abstraksi yang didukung oleh ilmu matematika yang amat hebat.

Tentu, tentang Bumi dan Bulan, masih banyak yang dapat kita kaji, khususnya menyangkut masa depan hubungan Bumi-Bulan. Apakah akan terus berlangsung seperti yang kita lihat sekarang? Ahli tata surya (misalnya seperti yang berdiskusi di situs Astroprof’s) menyebut beberapa skenario.

Seiring dengan teori evolusi bintang yang menyebut Matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah, maka Bumi-Bulan akan melayang di sekitar pinggir atmosfer Matahari. Bisa jadi Bumi tertarik oleh Matahari dan Bumi pun tamat riwayatnya.

Sebaliknya, kalau Bulan lebih terkena pengaruh tarikan Matahari, ia akan secara spiral mendekati Bumi dan gravitasi Bumi akan membuatnya pecah. Tetapi juga ada kemungkinan saat itu—boleh jadi mulai 1,5 miliar tahun ke depan—Matahari sudah mengecil sehingga gravitasinya ikut mengecil. Bumi-Bulan pun mungkin lepas dari pengaruh Matahari.

Satu fakta lain yang sudah diketahui sejauh ini adalah Bulan semakin menjauh dari Bumi, hingga dalam kurun satu miliar tahun lagi—semoga masih ada manusia yang sempat menyaksikannya—boleh jadi Bulan sudah tampak lebih kecil dan saat itu tidak ada lagi gerhana matahari.

Dalam kaitan ini pula, sejumlah ilmuwan berpendapat, dunia yang kita kenal sejauh ini, dengan semua pemandangan alam yang kita kenal baik, mungkin tidak ada bila tak ada Bulan, seperti yang kita kenal selama ini, tentu juga dengan jarak yang ada sekarang ini (sekitar 385.000 km).

Alam semesta baru

Dalam derap kemajuan ilmu astronomi— yang bukan saja mempelajari hingga sejauh Bulan, tetapi juga seantero tata surya, bahkan selingkup galaksi, dan bahkan juga sebatas pinggiran alam semesta yang jauhnya 13,7 miliar tahun cahaya—jelas Bumi-Bulan merupakan satu aspek kecil dalam konteks di atas. (Sekadar catatan, satu tahun cahaya > 9.500.000.000.000 km.)

Membalik-balik edisi khusus National Geographic terbaru tentang ”Alam Semesta Baru–di Sini, Sekarang, dan di Luar Itu” yang diberi kata pengantar oleh astronot Buzz Aldrin, tergetarlah hati dan pikiran kita.

Antara lain kita dibuat ternganga, Bumi yang menghampar luas dengan keliling 40.000 km di khatulistiwa dan bergaris tengah 12.000 km, yang sebetulnya membuat manusia harus merasa bak debu, sesungguhnya bak noktah saja dibandingkan Matahari.

Ya, Matahari yang terbit dan tenggelam dengan setia selama 4,5 miliar tahun terakhir adalah bintang sumber cahaya dan kehidupan di Bumi. Dalam rentang umur manusia, skala itu adalah keabadian, tetapi dalam skala kosmik, usia Matahari tergolong ”sedang” saja.

Namun, pada sisi lain, Matahari yang demikian sentral bagi kehidupan, dari sisi keanggotaan di Galaksi Bima Sakti (Milky Way), sungguh juga anggota biasa, dengan ukuran dan riwayat hidup yang biasa.

Dari montase foto Bima Sakti, Matahari dan planet-planetnya hanya noktah kecil di bagian pinggirnya. Matahari hanya satu dari 200.000.000.000 bintang yang ada di Bima Sakti. Ia mengelilingi pusat Bima Sakti sekali setiap 220 juta tahun. Boleh jadi itu waktu yang lamban, tetapi coba kalau diperiksa, kecepatan Bumi yang ikut dalam komedi putar kosmik ini saat mengelilingi pusat Bima Sakti adalah 917.000 km per jam (pesawat Concorde yang supersonik itu paling cepat terbang dengan kecepatan 2.200 km per jam, Mach 2,02).

Yang lebih menakjubkan, di alam semesta sejauh ini diketahui ada sekitar 125 miliar galaksi. Kalau setiap galaksi setidaknya ada 100 miliar bintang, kita bisa menghitung, ada berapa banyak bintang di alam semesta!

Di luar pengetahuan akan jarak yang terus meluas itu, astronom juga tidak melupakan pekerjaan rumah untuk menjawab teka-teki yang masih ada tentang benda-benda langit yang ada di tata surya. Misalnya saja tentang Planet Venus, masih perlu dijawab, apakah satu saat di masa lalu Venus memiliki samudra? Bahkan untuk Bumi sendiri, teka-teki itu termasuk ”apa yang memunculkan kehidupan”?

Asal alam semesta

Memang sejauh ini sudah diterima, alam semesta bermula dari satu Dentuman Besar atau Big Bang, yang terjadi 13,7 miliar tahun silam.

Namun, teori Dentuman Besar ini bukannya bebas dari gugatan. Michael Lemonick dalam edisi khusus Discovery bertema Extreme Universe mengangkat isu ini. Ketika ditanyakan apakah saat alam semesta mulai, ruang dan waktu datang dari kenihilan, dua fisikawan menjawab ”tidak” secara meyakinkan.

Namun, sebaliknya, menurut fisikawan Paul Steinhardt, Big Bang—setidaknya—tidak muncul dari ketiadaan ruang dan waktu, tetapi dipicu oleh tubrukan antara alam semesta kita dan dunia tiga-dimensi lain yang tersembunyi di dimensi lebih tinggi.

Dengan segala kerumitannya, melibatkan teori canggih seperti String Theory yang luar biasa sukar, kosmologi juga terus berkembang, mencerminkan semangat manusia yang tiada surut untuk mengetahui kodratnya di alam semesta, yang dengan karya Steinhardt (bersama rekannya, Neil Turok) merupakan fenomena eksistensi siklik alias berulang.

Dalam konteks itulah di satu sisi kita terus memuliakan Bumi-Bulan, tetapi pada sisi lain juga perlu terbuka untuk memahami secara lebih paripurna adikarya Ilahi yang terhampar mahaluas ini. Dengan olah akal budi itulah religiositas kita setiap kali mendapatkan bobot dan pemaknaan baru ke aras lebih berkualitas.


EmoticonEmoticon