Jumat, 01 Oktober 2010

PMK- 154 Tahun 2010 Terbit, Pajak akan Potential Loss?

Awal September yang lalu, Menteri Keuangan menerbitkan peraturan baru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor: 154/PMK.03/2010 mengenai Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Peraturan baru ini mengganti peraturan sebelumnya yaitu PMK nomor: 210/PMK.03/2008 (PMK ini dinyatakan tidak berlaku setelah terbitnya PMK- 154/PMK.03/2010).

Dalam peraturan baru ini kewajiban Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang memperoleh kucuran dana dari APBN, tidak lagi memungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang. Di samping BUMN dan BUMD tersebut, beberapa badan dan perseroan termasuk juga Bank Indonesia tidak lagi memungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang. Badan dan perseroan yang tidak lagi dibebani untuk memungut PPh Pasal 22 adalah Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN.

Dari eliminasi ini bisa dipastikan akan mengakibatkan potential loss (kehilangan potensi) penerimaan pajak, khususnya penerimaan PPh Pasal 22. PPh Pasal 22 dalam tulisan ini adalah pajak yang dipungut oleh badan dan perseroan terhadap pembelian barang (yang dananya baik bersumber dari APBN maupun non APBN). Besarnya pungutan PPh Pasal 22 adalah 1.5%. Dan beban PPh Pasal 22 ini ditanggung oleh rekanan yang menyuplai keperluan badan dan perseroan.

Berapa besar perkiraan potential loss dari pencabutan kewajiban pemungutan PPh Pasal 22 ini? Karena pemajakan PPh Pasal 22 dilakukan setiap kali badan dan perseroan tersebut belanja barang, maka dapat dihitung perkiraan berapa potensi pajak yang akan hilang apabila data belanja diketahui. Menurut Kementerian BUMN, belanja modal (belum termasuk belanja non modal) BUMN tahun 2010 ini diproyeksikan sebesar Rp 167 triliun (Sumber: Primaironline). Maka perkiraan potential loss-nya adalah 1.5% dari Rp 167 triliun, yaitu sebesar Rp 2,5 triliun. Oleh karena PMK Nomor: 154/PMK.03/2010 mulai berlaku efektif pada tanggal 31 Agustus 2010, maka potential loss tahun 2010 dihitung mulai September sampai Desember (empat bulan) menjadi sebesar seperempat dari Rp 2,5 triliun atau Rp 626,2 milyar.

Di tengah upaya mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 733,24 triliun yang hingga 26 Juli 2010 (7 bulan berjalan) baru mencapai Rp 291,4 triliun atau 48,8% (padahal idealnya di atas 60%), tentu akan semakin memberatkan Ditjen Pajak dalam mengumpulkan pundi-pundi negara. Entah apa yang akan ditempuh oleh Ditjen Pajak untuk menutup kemungkinan potential loss yang cukup besar tersebut.

Disclaimer:
Tulisan di atas hanya pendapat pribadi yang belum diuji secara empiris sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk diambil kesimpulan.


EmoticonEmoticon