Senin, 20 Juni 2011

Persepsi Budak Yang Tidak Lekang

Saya kaget dan sedih mendengar telah dieksekusinya (dengan cara dipancung--dipotong lehernya sampai putus) seorang TKI di Arab Saudi. Sesuai pemberitaan di media, eksekusi dilaksanakan pada Sabtu, 18 Juni 2011 atas seorang TKI bernama Ruyati binti Sapubi. TKI asal Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat ini dieksekusi mati karena dituduh membunuh majikannya, Khairiya binti Hamid Mijlid.

Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan terkait peristiwa tragis ini. Pertama, di mana peran pemerintah kita? Apakah pemerintah tidak tahu ada warganya yang akan dieksekusi? Bila pemerintah sudah tahu, sejauh mana upayanya dalam membantu persoalan yang menimpa seorang TKI ini? Konon pemerintah tidak tahu hari pelaksanaan eksekusi. Apakah tidak ada pendampingan saat TKI menjalani persidangan? Bagaimana dia bisa membela diri sementara ada gap bahasa? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana almarhum menjalani persidangan yang sama sekali tidak dipahami bahasanya, terutama terkait bahasa hukum setempat. Bila pemerintah absen hingga kasus ini berakhir di tangan algojo, artinya pemerintah telah gagal melindungi warganya.

Kedua, apakah masih kuat persepsi budak terhadap para pembantu di mata warga Arab Saudi? Berbagai tindak kekerasan (penyiksaan, pemerkosaan dan pembunuhan) yang sering terjadi menunjukkan tidak lekangnya persepsi ini. Sungguh ironi di kehidupan modern!

Persepsi jahiliyah menganggap budak bukan sebagai manusia melainkan sebuah benda/barang. Sehingga pemilik budak bisa memperlakukan seenaknya. Bila persepsi ini masih melekat di sebagian besar warga Arab Saudi, maka ribuan TKI sedang dalam posisi terancam. Sekali lagi, fakta banyaknya kekerasan pada TKI selama ini menunjukkan hal itu.

Saya sulit membayangkan seorang TKI yang harus kerja full time, dari pagi sampai malam. Setiap saat harus menghadapi ‘teror’ bila hasil pekerjaan tidak memuaskan majikan. Belum lagi ancaman majikan laki-laki yang bisa saja memerkosa. Bila tidak menuruti, dibunuh. Sehingga posisi TKI dalam dua pilihan, dibunuh atau membunuh sebagai pembelaan diri. Sialnya, membunuh karena membela diri kadang tidak dipertimbangkan di pengadilan seperti kasus Ruyati ini. Karena dicap budak, maka pasti salah dan tidak boleh membela diri?

Postingan ini telah dipublikasikan juga di Kompasiana


EmoticonEmoticon