Sabtu, 13 Februari 2010

Melihat Kasus Bank Century dari Kacamata Awam


Tadi malam, saya diundang untuk hadir di acara 40 hari meninggalnya seorang tetangga. Sebagaimana biasa, acaranya adalah membaca surat Yasin, surat-surat pendek dan tahlil (menyebut lafal Lailaaha illalloh). Selesai membaca bacaan-bacaan tersebut acara dilanjutkan dengan hidangan makan malam sebagai tanda terima kasih tuan rumah kepada jamaah yang telah mendoakan anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Menu makan malamnya berupa soto ayam khas Jawa Timur.
Di Balikpapan mayoritas penduduk adalah suku Jawa yang sebagian besar dari Jawa Timur. Maka tidak heran bila bertebaran warung soto lamongan, pecel lele, bakwan arema, rujak cingur dan rawon. Suku-suku pendatang lainnya yang ikut memberi warna Balikpapan adalah Bugis, Madura, Banjar, Batak, Sunda. Ada juga orang Manado, Ambon, Papua, Bali, Kupang, Mataram (NTB) dan orang Aceh yang saya kenal melalui mie Acehnya di dekat markas Brimob Balikpapan. Aneka suku ini saya ketahui saat ada karnaval dalam rangka ulang tahun kota Balikpapan pada 2008 silam, dimana masing-masing suku yang ada mengirimkan wakilnya sebagai peserta. Meski kota kecil, tapi Balikpapan sungguh merepresentasikan wajah Indonesia. Sudah puluhan tahun kota minyak ini bagai gula yang dikerubuti semut dari seluruh Indonesia.

Kembali ke tahlilan. Saat menunggu disajikannya makan malam dan saat usai makan sambil menunggu dibaginya ’berkat’ (berupa nasi kotak), sering dimanfaatkan oleh para hadirin untuk berbagi cerita. Cerita apa saja sesuai kejadian yang dialami masung-masing. Dan obrolan malam itu lebih banyak tentang kasus Bank Century serta Pansus DPR.
Dari riuh rendah obrolan, dengan latar belakang yang berbeda-beda, menghasilkan pemikiran yang berbeda pula.
Secara umum mereka ’terkesan’ dengan para anggota DPR yang merasa seperti tidak sedang ditonton oleh jutaan rakyat Indonesia. Sesama anggota dewan saling mengumpat dan lebih memprihatinkan lagi, terhadap wakil presiden sebagai simbol negara, kurang menghargai sebagaimana mestinya. Mereka, katanya, tidak mencerminkan sikap terhormat sebagaimana selama ini disandang oleh wakil rakyat.
Sempat juga terlontar, mereka sudah digaji besar, koq masih dapat uang juga sebagai anggota Pansus? Maklum, orang awam yang tidak tahu bahwa persidangan pun melelahkan sehingga wajar bila panitia minta honor tambahan di luar gaji. Makin pintar saja anggota dewan mencari uang tambahan.
Saya menimpali, anggaran Pansus hampir tiga milyar lho, pak. Banyak sekali. Coba kalau uang sebanyak itu dibelikan beras untuk raskin (rakyat miskin), dapat 600 ton bila harga per kilo Rp 5.000 dan bisa dibagikan ke 60.000 KK bila per KK dijatah 10 kg. Para anggota dewan sudah kaya, jadi honor untuk mereka seperti menggarami lautan saja. Lebih baik untuk rakyat miskin saja anggaran tersebut.
Celotehan lainnya, dalam hal dugaan korupsi, bila memang ada bukti korupsi dari dana sebanyak Rp 6,7 triliun, kenapa tidak langsung diusut oleh KPK? Kenapa harus melalui Pansus segala?
Ada lagi yang antipati dengan skandal BC. Katanya, mau ada skandal atau nggak, nggak berpengaruh sama nasib sebagai wong cilik. Apakah pansus menjamin bahwa bila uang sebanyak itu kembali, kehidupan akan menjadi lebih baik?
Sekelumit cerita tersebut merupakan cerminan dari sebagian warga. Dan saya percaya sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya rakyat yang untuk sekedar cari makan saja susah, tidak begitu peduli dengan panggung century di gedung DPR. ’Ngapain mikir yang begituan, mikir diri sendiri saja sudah susah’, begitu kira-kira yang ada di pikiran mereka.
Jadi mohon para anggota dewan, khususnya anggota pansus tidak tersinggung mendengar unek-unek dari para konstituennya. Karena masyarakat juga punya hak untuk menanyakan sepak terjang para wakilnya di gedung dewan.

Salam terjang.

2 comments

Rakyat sebagai pembayar cukai harus tau dan ambil tahu setiap sen duit wang rakyat dibelanjakan.kemana dan untuk apa wang itu.

Mas Dur, saya sepakat. jangan kuatir, setiap tahun pemerintah mengumumkan APBN yg di dalamnya terdapat pos penerimaan negara (yg hampir 90% berasal dari pajak/cukai) dan pos belanja (untuk berbagai macam keperluan negara).

Trims ya telah mampir di my original blog hehehehe...


EmoticonEmoticon